Pendidikan dalam agama Islam
menempati posisi yang sangat penting. Banyak ayat-ayat al-Quran yang sangat
erat kaitannya dengan pendidikan yang secara tidak langsung berarti bahwa
setiap muslim wajib berilmu. Dengan adanya pendidikan inilah, setiap muslim
dapat menambah wawasan keilmuan mereka.
Pendidikan Islam tumbuh dan
berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya Islam. Pendidikan Islam
tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam itu sendiri, mulai dari pendidikan
Islam pada zaman Nabi, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah,
hingga sampai sekarang.
Dalam makalah ini, penulis akan
sedikit membahas tentang pola pendidikan pada masa dinasti Umayyah. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan keilmuan pembaca
mengenai sejarah pendidikan Islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian pendidikan
Dunia
pendidikan telah sedikit demi sedikit mengalami perkembangan, mulai dari masa
Rasulullah dan para sahabat sedikit demi sedikit selalu mencari gagasan untuk
menjawab tantangan zaman serta kebutuhan kehidupan.
Dari masa ke
masa sebenarnya mempunyai keterikatan dalam hal pendidikan yang bersumber dari
Rasulullah kemudian diwariskan kepada para sahabat, kemudian kepada tabi’in (
Bani Umayyah ).
Hal ini dapat
dilihat bahwa pada kenyataannya ulama-ulama pada masa umayyah adalah murid dari
ulama-ulama pada masa sahabat, tempatnya pun masih meneruskan tempat yang
dahulu digunakan sebagai tempat untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, di
antaranya adalah Makkah, Madinah, Basrah, Kufah, Damsyik, Palestina, dan
Fistat.
B.
Keadaan politik
Sebenarnya
pendidikan pada masa bani umayyah hamper sama dengan masa khulafaur rasyidin,
namun ada perbedaan dan perkembangan sendiri. Perhatian raja-raja di bidang
pendidikan tidak maksimal, perhatian terhadap pendidikan justru dilakukan oleh
ulama-ulama yang memiliki ilmu yang mendalam. Bahkan hamper tidak ada kebijakan
dari pemerintah untuk pendidikan pada masa itu. Jadi bisa dikatakan bahwa
system pendidikan pada masa itu berjalan secara alamiah. Namun dari hal itu
justru muncullah paradigm berpikir mandiri pada masyarakat.
Kondisi ketika
itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan, sehingga pada
dunia pendidikan terutama di bidang sastra, sangat rentan identitas
masing-masing. Mulai dari sya’ir, prosa,
dan pidato mulai menunjukkan kebangkitannya. Pada zaman ini mulai ada gerakan
penerjemah ilmu-ilmu bahasa lain ke bahasa arab. Tetapi hal ini masih terbatas
pada bidang ilmu praktis saja, di antaranya yaitu kedokteran, falak, ilmu tata
laksana, dan seni bangunan. Orang yang pertama kali melakukan terjemah adalah
Khalid bin Yazid.
C.
Pelaksanaan Pendidikan
Dalam
pelaksanaan pendidikan pada masa bani umayyah sudah ada tingkatan-tingkatan
pendidikan seperti zaman sekarang. Tingkat pertama yaitu Kuttab sebagai tempat
anak-anak belajar menulis dan membaca/menghafal Al-Qur’an serta belajar
pook-pokok agama islam. Setelah tamat al-Qur’an mereka meneruskan pelajaran ke
Masjid. Pelajaran di Masjid itu sendiri memiliki tingkat-tingkat, yaitu tingkat
menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama
besar, sedangkan pada tingkat tingginya, gurunya adalah ulama yang dalam
ilmunya dan masyhur ke’alimannya serta kesalehannya.
Umumnya
pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di
kuttab atau di masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran di
berikan oleh guru dalam satu halaqoh yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
Pola pendidikan Islam pada periode dinasti Umayyah telah berkembang bila
dibandingkan pada masa Khulafā ar-Rāshidīn yang
ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Kuttab
serta Majelis Sastra. Jadi tempat pendidikan pada periode dinasti Umayyah diantaranya adalah :
1.
Kuttab
Kuttab atau maktab
berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis,
jadi Khuttāb adalah tempat belajar menulis. Khuttāb merupakan tempat
anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al-Quran serta belajar
pokok-pokok ajaran Islam. Sebelum datangnya Islam kuttāb telah ada di negeri
Arab. Sewaktu agama Islam diturunkan, sudah ada diantara para
Ṣahabat yang pandai tulis baca. Kemudian tulis tersebut ternyata mendapat
tempat dan dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas dikalangan
umat Islam. Karena tulis baca semakin
terasa perlu, maka kuttab sebagai tempat belajar
menulis dan membaca terutama bagi anak-anak berkembang pesat. Pada mulanya, di
awal perkembangan Islam kuttāb tersebut dilakukan di rumah guru-guru yang
bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca.
Sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah sya’ir-sya’ir
yang terkenal pada masanya.
Kemudian pada akhir abad
pertama Hijriyah mulai timbul jenis kuttāb yang disamping memberi pelajaran
menulis dan membaca, juga mengajarkan
membaca Al-Quran dan pokok-pokok ajaran Agama. Pada mulanya kuttāb jenis ini
merupakan pemindahan dari pengajaran Al-Quran yang berlangsung di masjid dan
bersifat umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang dewasa).
Anak-anak ikut pengajian didalamnya, tetapi karena mereka tidak dapat menjaga
kesucian dan kebersihan masjid, maka diadakan tempat khusus di samping masjid.
Selanjutnya berkembanglah tempat-tempat khusus untuk pengajaran anak-anak dan
berkembanglah kuttāb-kuttāb yang bukan hanya mengajarkan Al-Quran, tetapi juga
pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian kuttāb berkembang
menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.
Adapun cara
yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al-Quran mereka juga belajar menulis dan tata
bahasa serta tulisan. Perhatian mereka
bukan tertumpu mengajarkan Al-Quran semata
dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada
pelajaran sangat pesat. Al-Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk
belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.
Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa
Arab, cerita-cerita Nabi, hadits, dan pokok Agama.
2. Masjid
Semenjak zaman Nabi Muḥammad Ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam masjid
telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum
muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat
menyampaiakan penerangan agama, dan tempat menyelenggarakan pendidikan, baik
untuk anak-anak atau orang dewasa. Kemudian pada masa khalifah Bani Umayyah
berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama
yang bersifat keagamaan.
Pada Dinasti
Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi
setelah khuttāb. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al-Quran, Tafsir, Hadith dan Fiqih, Juga
diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu
perbintangan.
Diantara jasa
besar pada periode Dinasti Umayyah
dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk Sya’ir,
sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan masjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Masjid
Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut
ilmu di seluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Wālid bin ‘Abd al-Mālik (707-714 M) yang merupakan
Universitas terbesar dan juga didirikan masjid Zaitunnah
di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.
3.
Baidah
Yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan
murni. Hal ini terjadi ketika khalifah ‘Abd al-Mālik bin Marwān memprogramkan Arabisasi
maka muncul istilah badiah, yaitu dusun baduwi di padang Sahara mereka masih fasih dan murni
sesuai dengan kaidah bahasa arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang
mengirimkan anaknya ke badiah untuk mempelajar bahasa Arab yang fasih lagi
murni. Banyak ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah
dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan kesustraan Arab yang asli lagi
murni. Badiah-badiah tersebut lalu menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama
bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.
4.
Pendidikan
Perpustakaan
Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi
berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para
ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang
telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam
usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan. Pemerintah Dinasti Umayyah
mendirikan perpustakaan yang besar di Cordova pada masa khalifah al-Hakam bin
Nāṣir.
5.
Pendidikan
Rumah Sakit
Pada zaman kejayaan perkembanagan kebudayaan Islam dalam
rangka menyebarkan kesejahteraan dikalangan umat Islam, maka banyak didirikan
rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah sakit
tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang
sakit, tetapi mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang
kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu
obat-obatan atau farmasi. Rumah sakit ini juga merupakan tempat praktikum dari
sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit atau di dalam rumah
sakit, sehingga rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.
Cucu Muawiyah Khalid bin Yazid sangat tertarik
pada ilmu kimia dan kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan
para sarjana yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan
kedokteran ke dalam bahasa arab. Hal ini menjadi terjemahan pertama dalam
sejarah sehingga al-Walid bin ‘Abd al-Malik memberikan perhatian terhadap rumah
sakit.
D.
Madzhab-Madzhab
Fiqh Masa Dinasti Umayyah
Sejalan
dengan munculnya para imam besar maka lahirlah beberapa madzhab fiqh yang
diberi nama sesuai dengan nama pendirinya, terikat dengan hasil ijtihad, cara
istinbath, dan kaidah-kaidah yang mereka tetapkan.
Allah
telah member kemudahan bagi sebagian madzhab untuk tetap bertahan hidup dan
terus diikuti sampai hari ini, padahal sebagian lain tidak ada daya dukung dan
sirna.
Madzhab
ini memiliki peranan penting dalam mengungkap tabir keagungan fiqh Islam yang
dipenuhi oleh berbagai macam ijtihad.
1.
Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang paling
tua di antara empat madzhab yang popular. Madzhab ini dinisbatkan kepada imam
besar Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit bin Zutha At-tamimy.
Iamam Abu Hanifah hidup dalam lingkungan yang
berbeda-beda, Beliau berguru dengan seorang ulama terkemuka yaitu Hammad bin
Sulaiman yang merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak
memberikan pengaruh dalam membangun madzhab fiqhnya. Imam Abu Hanifah
mengistinbathkan hokum adalah sebagai berikut:
a.
Al-Quran
merupakan sumber utama syariat dan kepadanya dikembalikan semua hokum dan tidak
ada satu sumber hokum satu pun, kecuali dikembalikan kepadanya.
b.
As-sunnah,
sebagai penjelas al-quran dan sumber hokum Islam.
c.
Pendapat
sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah.
2.
Madzhab Maliki
Imam Malik tidak pernah menuliskan dasar dan
kaidah madzhabnya dalam beristinbath serta manhajnya dalam berijtihad walaupun
beliau pernah mengatakan atau mengisyaratkannya.
3.
Madzhab Syafi’i
4.
Madzhab Hambali
E.
Pusat pendidikan Islam
Perluasan negara Islam bukanlah
perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur
diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara
Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut: di
kota Makkah dan Madinah (Hijaz), di kota Baṣrah dan Kufah (Irak), di kota
Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir).
Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai
berikut:
1.
Madrasah Makkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah sesudah
penduduk Makkah takluk ialah Mu’ādh bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al-Quran
dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah ‘Abd al-Mālik bin
Marwān ‘Abdullah bin Abbās pergi ke
Makkah, lalu mengajar disana di Masjidil Harām. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan
sastra. ‘Abdullah bin Abbāslah pembangun
madrasah Makkah yang termasyhur di seluruh negeri Islam.
2.
Madrasah Madinah: Madrasah
Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat
tinggal Ṣahabat-Ṣahabat Nabi Ṣalāllahu ‘alaihi wa sallam. Berarti disana banyak
terdapat ulama-ulama terkemuka.
3.
Madrasah Baṣrah: Ulama sahabat yang termasyur di Baṣrah ialah Abu
Musā al-Ash’ari dan Anas bin Mālik. Abu Musā al-Ash’ari adalah ahli fiqih dan
ahli hadīth, serta ahli Al-Quran. Sedangkan Abbās bin Mālik termasyhur dalam
ilmu hadīth. Al-Hasan Baṣry sebagai ahli fiqih, juga ahli pidato dan kisah,
ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada
pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan
kisah-kisah di masjid Baṣrah.
4.
Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang
ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswād, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Hāris bin Qais dan
‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan ‘Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama
Kufah, bukan saja belajar kepada ‘Abdullah
bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada
‘Abdullah bin Mas’ud, bahkan mereka
pergi ke Madinah.
5.
Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi
sebagian negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri
Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk
Syam, yaitu ‘Abdurrahman al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Mālik
dan Abu Hanīfah. Madhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia.
Tetapi kemudian madhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh madhab Syāfi’i dan
Māliki.
6.
Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia
menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah di Mesir ialah
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadith
dengan arti kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadith-hadith
yang didengarnya dari Nabi Ṣalāllahu ‘alaihi wa sallam, melainkan juga
dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf
meriwayatkan hadith-hadith itu kepada murid-muridnya. Oleh karena itu banyak
sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadith-hadith dari padanya.
Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama
di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk
melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat
ke Kufah, pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan
begitulah seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh
kota-kota di Negara Islam.
Dinasti Umayyah menaruh perhatian yang besar dalam bidang
pendidikan dan memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan
penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan guna menunjang umat Islam
untuk dapat memiliki wawasan keilmuan terutama di bidang keagamaan. Pada masa
Bani Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi artinya pendidikan tidak hanya
terpusat di Ibu Kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah
yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial.
Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar
umur. Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang yang
ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah. Dengan penekanan ini didiajarkan
beberapa macam ilmu Agama dan ilmu-ilmu lainnya.Diantara bentuk dan lembaga
pendidikan pada masa Bani Umayyah adalah: Kuttab, Masjid, Pendidikan Badiah, Pendidikan
Perpustakaan, Rumah Sakit.
EmoticonEmoticon