Pendekatan Studi Islam dalam Memahami Agama
M. Iqbal Majdi
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN
Pekalongan
Dosen Pengampu: Dr. Waryani Fajar
Riyanto, M. Ag
Abstrak
Secara umum Studi Islam bertujuan untuk menggali dasar-dasar dan
pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang
bersifat hakiki, universal dan dinamis serta abadi, untuk dihadapkan atau
dipertemukan dengan budaya dan dunia modern, agar mampu memberikan alternatif
pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat
Islam pada khususnya. Dengan tujuan tersebut, maka Studi Islam akan menggunakan cara pendekatan
yang sekiranya relevan.[1]
Kata Kunci
: Pendekatan, Studi Islam dan Agama
A. Pendahuluan
Kebutuhan akan
sebuah Metodologi Penelitian Agama Islam yang berbeda dengan metodologi
penelitian bidang-bidang studi lain, dikalangan ilmuan muslim Indonesia sudah
menguat sejak 10-20 tahun terakhir ini. Sampai saat ini model penelitian yang
dimaksud belum ditemukan secara memuaskan meskipun berbagai usaha telah
ditempuh dan sejumlah karya telah dihasilkan. Sekalipun telah diperoleh
kemajuan yang amat berarti tetapi belum menyentuh secara mendasar ajaran agama
itu sendiri yang seharusnya menjadi pusat perhatian. Akan tetapi, jika dilihat
dari tradisi ilmiah, tampaknya tidak akan ditemukan konsep metodologi
penelitian agama yang mampu memuaskan semua pihak serta memiliki ketepatan dan
kebenaran sepanjang masa. Beberapa paradigma dapat diketahui dapat diketahui untuk mengungkapkan
realitas pada berbagai masalah, dengan hasil yang berlainan. Boleh jadi masalah
tertentu hanya dapat dijawab oleh paradigma tertentu. Apakah kawin kontrak
dapat dibenarkan oleh agama, hanya dapat dijawab oleh paradigma logikal? Apakah fungsi ulama sekarang sudah bergeser
oleh ilmuan hanya dapat dijawab oleh paradigma ilmiah. Agama dapat diteliti dengan menggunakan
berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai
kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan
apakah penelitian agama, penelitian ilmu sosial, pendekatan legalistik, atau
penelitian filosofis. Dalam upaya pengembangan studi keislaman (tradisi
penelitian ilmiah di tanah air, ada dua persoalan yang cukup krusial). Pertama, pembentukan konsorsium ilmu-ilmu keislaman,
Seperti ilmu kalam, syariah (hukum), dan tasawuf telah sedemikian bakunya
sehingga tidak tampak adanya penambahan dan pengayaan materi dari yang sudah
tertera dalam buku-buku literatur sejak terbentuknya ilmu-ilmu tersebut.[2]
kedua selain tidak adanya konsorsium dan jurnal studi keislaman, faktor
metodologi juga mempunyai andil untuk menentukan corak studi keislaman yang
ideal di tanah air. Studi islam di tanah air masih banyak didominasi oleh pendekatan
normatif dan kurang berwawasan empiris-historis. Oleh karena itu, metode
pendekatan ilmu keislaman di Indonesia perlu mencermati perkembangan nuansa
pemikiran kajian keislaman di luar negeri sebagai bahan studi komparatif untuk
memperkaya studi keislaman di tanah air yang bersifat komprehensif dan radikal
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman tetapi tidak bertentangan dengan
alqur’an dan as-sunnah.[3]
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendekatan dalam Studi Islam
Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, pendekatan adalah proses perbuatan, cara mendekati, usaha
dalam rangka aktifitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang
diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah
penelitian. Secara terminologi, Mulyanto Sumardi (1998) menyatakan bahwa pendekatan
selalu terkait dengan tujuan, metode, dan tehnik. Kemudian, Vicha (2011)
menyatakan bahwa pendekatan adalah cara pandang paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan untuk memahami agama.[4]
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah
cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini Jalaluddin Rakhmat
mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma
realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian
agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik, atau penelitian
filosofis. Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan
paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di
sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan
normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan
dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan
merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah
kepadanya.[5]
2.
Pendekatan Manusia dalam
Studi Islam
Dalam
melakukan kajian mengenai studi Islam, pendekatan-pendekatan dalam kajian atau
dalam rangka memahami studi Islam secara sistematis-komprehensif-radikal sangat
penting, karena pendekatan menurut penulis adalah cara pandang yang digunakan untuk
memahami dan menjelaskan sesuatu. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
studi Islam atau penelitian agama Islam antara lain sebagai berikut:
1. Pendekatan
Teologis Normatif
Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai
paling benar dibandingkan yang lainnya.[6] Maksud pendekatan normatif adalah studi Islam
yang memandang masalah dari susut legal-formal adalah hubungannya dengan
halal-haram, boleh tidak, dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh
ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian pendekatan normatif
mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab pendekatan yang digunakan oleh ahli
ushul fikih, ahli hukum Islam, ahli tafsir dan ahli hadis yang berusaha
menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan
normatif.[7]
Sehingga pendekatan teologis-normatif dalam pemahaman keagamaan adalah
pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang
masing-masing bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan pemahaman yang lainnya dianggap
salah dan yang dimaksud normatif adalah memandang agama dari segi ajarannya
yang pokok dan asli dari tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran
manusia.[8] Pendekatan
teologi dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog,
parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang akhirnya terjadi
pengkotak-kotakan umat.
Jika yang
digunakan untuk memecahkan masalah esensial pluralitas agama sekarang ini hanya
pendekatan teologis saja, maka tidak bisa. Untuk itu, seharusnya diperlukan
pendekatan lain seperti pendekatan sosiologi, sejarah, antropologi, filsafat
dan lain-lain. Pendekatan teologis-normatif mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah melalui pendekatan ini, seseorang mempunyai sikap militansi
dalam beragama, yaitu berpegang teguh kepada yang diyakininya sebagai yang
benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Sedangkan kekurangannya
adalah bersifat eksklusif-dogmatif, tidak mau mengakui agama lain dan
sebagainya. Sikap eksklusifisme teologis dalam memandang perbedaan dan
pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas merugikan diri sendiri dan yang
lain, karena sikap semacam ini mempersempit bagi masuknya kebenaran baru yang
bisa membuat hidup lebih lapang dan lebih kaya akan nuansa. Oleh sebab itu,
umat Islam seharusnya memahami Islam tidak hanya menggunakan pendekatan
teologis-normatif saja, tetapi juga dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
yang lain, Seperti: pendekatan sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah dan
lain-lain dengan tujuan agar pemahaman tentang Islam menjadi utuh, integral,
universal dan komprehensif.[9]
Dari
uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama
menggunakan cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan
mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar,
sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari
keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.[10]
2. Pendekatan Historis
Historis
adalah asal-usul, silsilah, kisah, riwayat, dan peristiwa. Historis merupakan
suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan
unsur, tempat, waktu, objek, dan latar belakang suatu peristiwa.[11]
Secara
bahasa, historis mempunyai arti cerita suatu rekonstruksi atau juga kumpulan
gejala empiris masa lampau. Menurut materinya (subject matter), sejarah dibagi menjadi:
a.
Daerah (Asia, Eropa, Amerika dan lain sebagainya)
b.
Zaman (zaman klasik, modern, pertengahan dan lain
sebagainya)
c.
Tematik (sejarah politik, sejarah agama, sejarah seni
dan lain sebagainya).
Sebuah studi atau penelitian sejarah, baik yang lalu
maupun yang
Kontemporer sebenarnya kombinasi antara analisis dari
aktor dan peneliti, sehingga merupakan suatu realitas dari hari lampau yang
utuh. Pendekatan historis menekankan atau pun menitikberatkan pada kronologi
pertumbuhan dan perkembangan. Pendekatan historis menggunakan analisis atas
peristiwa-peristiwa masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Metode
ini dapat dipakai misalnya, dalam hal pengamalan (kebudayaan umat Islam).[12]
Melalui
pendekatan historis ini sesorang diajak untuk menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan
ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang
terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Kuntowijoyo telah melakukan
studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan
sejarah. Ketika Ia mempelajari alqur’an, Ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya
kandungan alqur’an itu terbagi menjadi dua bagian:
a)
Berisi konsep-konsep
b)
Berisi kisah sejarah dan perumpamaan
Dalam bagian pertama ini kita mengenal banyak sekali
konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep
tentang malaikat, konsep tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar, dan
sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan
konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati.
Misalnya: konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa
(orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para
tiran atau orang zalim), aghniya (orang kaya), mustakbirun
(penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor). Selanjutnya, jika pada bagian
yang berisi konsep-konsep alqur’an bermaksud membentuk pemahaman yang
komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi
kisah-kisah dan perumpamaan, alqur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan
untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian
historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia
diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi
ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis
atau pun menyangkut symbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang
luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan atau tentang
keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdo’a.[13]
Kebenaran Alqur’an dari segi historis
telah dibuktikan dengan ditemukannya jasad fir’aun sebagaimana telah dijanjikan
oleh Allah dalam Qur’an Surah Yunus (10) ayat 90:
* $tRøuq»y_ur ûÓÍ_t7Î/ @ÏäÂuó Î) tóst7ø9$# óOßgyèt7ø?r'sù ãböqtãöÏù ¼çnßqãYã_ur $\øót/ #·rôtãur ( #Ó¨Lym !#sÎ) çm2u÷r& ä-ttóø9$# tA$s% àMZtB#uä ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) wÎ) üÏ%©!$# ôMuZtB#uä ¾ÏmÎ/ (#þqãZt/ @ÏäÂuó Î) O$tRr&ur z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÒÉÈ
Artinya: “Dan Kami memungkinkan Bani
Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya,
karena hendak Menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah
hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya Termasuk orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)".[14]
Kemudian bukti lainnya adalah kemenangan kaum muslimin atas orang-orang kafir yang
mencoba menentang Islam dinyatakan dalam Surah Al-Mujadillah (58) ayat 21:
|=tF2 ª!$# útùÎ=øîV{ O$tRr& þÍ?ßâur 4 cÎ) ©!$# ;Èqs% ÖÍtã ÇËÊÈ
Artinya: “Allah telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku
pasti menang". Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.[15]
Sejarah
juga membuktikan bahwa pendekatan historis ini berlaku di Indonesia dengan
masuknya Islam pada abad ke-7 M/1 H. Tetapi baru meluas pada abad ke-13 M.
Islam masuk ke Indonesia melaui pusat-pusat perdagangan di pantai Sumatera
Utara dan melalui urat nadi perdagangan bagian timur. Beberapa kerajaan Islam sebagai bukti pendekatan
historis ini adalah sebagai berikut.
a)
Kerajaan Samudera Pasai. Menurut catatan sejarah,
bahwa Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang didirikan
pada abad ke-10 Masehi dengan raja pertamanya adalah Al-Malik Ibrahim bin
Mahmud. Pada zaman kerajaan ini sudah terjadi hubungan antara Malaka dan
Samudera Pasai bahkan Islam berkembang di Malaka melalui Kerajaan Samudera
Pasai.
b)
Kerajaan Perlak merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua Indonesia, agama Islam mudah sekali bertapak di Perlak tanpa adanya
goncangan sosial dengan penduduk pribumi karena Perlak merupakan daerah yang
letaknya sangat strategis di pantai Selat Malaka dan bebas dari pengaruh Hindu.
Marcopolo adalah seorang pengeliling dunia asal Italia yang pernah singgah di
Perlak, dia mengatakan bahwa ibukota perlak ramai dikunjungi oleh pedagang
Islam dari Timur Tengah dan India.[16]
3. Pendekatan
Sosiologis
Mengkaji
fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan
beragama. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku
manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang beralasan
dari suatu kegaiban. Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing atau
metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia
itu, hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku
itu.[17]
Sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku
itu. Dimensi lain dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di muka
bumi. Untuk mempelajari ini dipergunakan pendekatan yang selama ini digunakan
dalam ilmu manusia. Islam merupakan agama yang membentuk masyarakat dan peradapan. Untuk mempelajari
dimensi ini pendekatan sosiologi tepat digunakan. Sosiologi merupakan kajian
ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara satu dengan
yang lain.[18]
Pendekatan sosiologi ini menurut penulis
memang tepat digunakan untuk memahami studi Islam atau pun memahami agama
karena manusia sendiri adalah makhluk sosial sebab manusia saling membutuhkan
dan harus bersosialisasi dengan manusia yang lain, dengan adanya kegiatan sosial
tersebut tentunya akan berimplikasi pada munculnya beberapa masalah dalam hal politik,
ekonomi, budaya, atau pun masalah agama. Sehingga memahami agama menggunakan pendekatan
sosiologis perlu diterapkan.[19]
Hal
demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat
dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari
ilmu sosiologi. Sebagai contoh dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi
Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa Mesir dan mengapa
dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih
banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab
dan sekaligus dapat ditemukan ibrah atau hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama sebagaimana disebutkan di
atas, dapat dipahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan
masalah sosial sebagai alat untuk memahami agama.[20]
Menurut jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul “Islam Alternatif”,
menjelaskan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap
masalah sosial, dengan mengajukan lima 5 (lima) alasan sebagai berikut:
1)
Dalam Alqur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi
terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
Menurut Ayatullah Khomeini dalam bukunya Al-Hukumah
Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan
antara ayat-ayat ibadah satu banding seratus untuk ayat ibadah.
2)
Bahwa ditekannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam
adalah kenyataan bahwa apabila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
sosial yang penting, maka ibadah boleh diperpendek.
3)
Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan akan
diberi ganjaran lebih besar dari pada yang bersifat perorangan.
4)
Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah
dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan maka tebusannya
adalah melakukan suatu yang ada hubungannya dengan masalah sosial. Misalnya,
bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah membayar
fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
5)
Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam
bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.[21]
Dalam hubungan ini kita misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut:
“Orang
yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin adalah Seperti
pejuang di jalan Allah dan Seperti orang yang terus menerus salat malam dan
terus menerus berpuasa.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Dan dalam haditsnya yang lain, Rasulullah Saw,
menyatakan sebagai berikut:
“Maukah kamu aku beritahukan derajat apa yang lebih
utama dari pada salat, puasa, shadaqah (sahabat menjawab), tentu yaitu
mendamaikan dua pihak yang bertengkar.” (HR Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Hibban).[22]
4. Pendekatan
Antropologis
Persoalan
utama dalam memahami Islam adalah bagaimana memahami manusia. Pergumulan yang
dialami manusia sesungguhnya adalah keagamaan. Makna hakiki keberagamaan
manusia terletak pada interpretasi dan pengalaman agamanya. Oleh karena itu,
antropologi sangat diperlukan untuk mengkaji Islam sebagai alat untuk memahami
realitas kemanusiaan dan keberagaman agamanya.[23]
Antropologi
berasal dari bahasa Yunani antropos artinya manusia dan logos yang berarti wacana.[24]
Antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya asal-usul, aneka warna bentuk
fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Menurut kamus umum,
antropologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia mengenai asalnya,
perkembangannya, jenis (bangsanya) dan kebudayaannya.[25]
Menurut
Khoiriyah dalam bukunya yang berjudul Metodologi
Studi Islam. Antropologi adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan. Kebudayaan
adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang diperoleh sebagai makhluk sosial
yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan
dan mendasari serta mendorong tingkah lakunya. Antropologi memperhatikan
terbentuknya pola-pola perilaku manusia dalam tatanan nilai yang dianut dalam
kehidupan manusia.[26]
Adapun
metode yang lebih tepat dengan pendekatan antropologi adalah metode holistik.
Artinya, dalam melihat satu fenomena sosial harus diteliti dalam konteks
totalitas kebudayaan masyarakat yang dikaji. Sedangkan tehnik pengumpulan
datanya adalah dengan pengamatan terlibat (observasi) dan wawancara mendalam,
yaitu terjun langsung berbaur dalam masyarakat yang diteliti. Pengumpulan data
semacam ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memperoleh pemahaman yang maksimal
dari prespektif masyarakat yang diteliti bukan dari prespektif pengamat atau
peneliti.[27]
Dalam kaitannya dengan Islam sebagai gejala antropologi sangat banyak objek
kajian yang dapat dilakukan. Ada 5 (lima) gejala yang dapat diteliti, yaitu:
a)
Naskah-naskah atau sumber ajaran
b)
Penganut atau pemimpin atau tokoh pemuka agama, yakni
pemahaman, sikap, perilaku dan penghayatan
c)
Lembaga-lembaga, Ibadah-ibadat, Seperti: sholat,
puasa, haji, perkawinan, waris, sekatenan, peringatan kelahiran nabi, lembaga
wakaf, lembaga zakat, laziz, dan lain-lain
d)
Alat-alat keagamaan. Seperti: masjid, peci, dan
lain-lain
e)
Organisasi-organisasi sosial keagamaan, NU,
Nuhammadiyah, LDII, Rifai’iyah, dan lain-lain.[28]
Pendekatan antropologi dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama
dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan agama sangat akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia, berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya. Dawam Raharjo, yang lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan
sifatnya partisipatif. Peneliti antropologis yang induktif yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak dengan upaya membebaskan diri dari
lingkungan-lingkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak.
Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi
agama dapat ditemukan adanya hubungan pasif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik. Melalui pendekatan antropolgi ini dapat dilihat
bahwa agama ternyata berkorelasi dengan kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat. Dalam hubungan ini seseorang ingin mengubah pandangan dan sikap
etos kerja maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.[29]
Selanjutnya melalui pendekatan
antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme
pengorganisasian (social organization)
juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan.
Kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion Of Java, dapat dijadikan
contoh yang baik dalam bidang ini. Greetz melihat adanya klasifikasi sosial
dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi, dan abangan. Sungguh
pun hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari
berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun kontruksi sosial yang dikemukakannya
cukup membuat orang berpikir ulang untuk mengecek ulang keabsahannya.
Melalui pendekatan antropologis
fenomenologis ini kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan Negara (state and religion). Topik ini juga
tidak pernah kering dikupas oleh para peneliti. Akan selalu menarik melihat
fenomena Negara dan agama, seperti Vatikan dalam bandingannya dengan
Negara-negara sekuler di sekelilingnya di Eropa Barat. Juga melihat kenyataan
Negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi
konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang
tidak dapat ditawar-tawar. Belum lagi meneliti dan membandingkan Kerajaan Saudi
Arabia dan Negara Republik Iran yang berdasarkan Islam. Orang akan bertanya apa
sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat berbeda, yaitu
kerajaan dan republik. Belum lagi jika dibandingkan dengan Negara kesatuan
Republik Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.[30]
Melalui pendekatan antropologis
sebagaimana dijelaskan di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan
berbagai masalah kehidupan manusia dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan
fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Pendekatan seperti itu
diperlukan adanya, sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa
dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Alqur’an,
misalnya memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kemudian
kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari 300 tahun
lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, di mana kira-kira gua
itu, dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu, ataukah hal yang
demikian merupakan kisah fiktif? Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya
dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan
arkeologi. Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan
informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan
cabang-cabangnya.[31]
5.
Pendekatan Filosofis
Secara
etimologi atau asal-usul bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, “philosophia”, yang merupakan
penghubungan dua kata yakni “philos”
atau “philein” yang berarti “cinta”,
“mencintai” atau “pecinta”, serta kata “shopia”
yang berarti “kebijaksanaan” atau “hikmat”. Dengan demikian, secara bahasa,
“filsafat” memiliki arti “cinta akan kebijaksanaan”. Cinta artinya hasrat yang
besar atau berkoar-koar atau bersungguh-sungguh. Kebijaksanaan, artinya
kebenaran sejati atau kebenaran sesungguhnya.[32]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerdarminta mengartikan filsafat sebagai
pengetehuan dengan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab,
asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta atau
pun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.[33]
Filsafat
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a)
Filsafat ialah ilmu istimewa yang mencoba menjawab
masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena
masalah-maslah termaksud itu diluar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan
biasa.
b)
Filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal
budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral
serta sistematik hakikat sarwa-yang ada
yaitu hakikat Tuhan, hakikat alam semesta dan hakikat manusia, serta sikap
manusia termaksud sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut.[34]
Dari definisi tersebut dapat
diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau
hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya. Filsafat mencari
sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat
lahiriyah.[35]
Sebagai contoh, kita jumpai merek pulpen dengan kualitas dan harganya yang
berbeda-beda namun inti semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis. Ketika
disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen. Contoh lain
kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang berbeda, tetapi semua
rumah itu intinya adalah sebagai tempat tinggal. Kegiatan berpikir untuk
menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Kemudian pendekatan secara
filosofis ini selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan
maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti secara
seksama.[36]
Sebagai contoh membaca sejarah
kehidupan para nabi terdahulu. Maksudnya bukan sekedar menjadi tontonan atau
sekedar mengenangnya, tetapi bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan
menangkap makna filosofis yang terkandung di belakang peristiwa tersebut. Kisah
nabi Yusuf yang digoda seorang wanita bangsawan, secara lahiriah menggambarkan
kisah menggambarkan kisah yang bertema pornografi. Kesimpulan demikian itu bisa
terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut
tetapi sebenarnya melalui kisah tersebut Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia
agar memiliki ketampanan lahiriah dan batiniah secara prima. Nabi Yusuf telah menunjukkan kesanggupannya
mengendalikan farjinya dari berbuat maksiat. Sementara lahiriahnya ia tampan
dan menyenangkan orang yang melihatnya. Makna demikian dapat dijumpai melalui
pendekatan yang bersifat filosofis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini
seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat
pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya.[37]
6.
Pendekatan Psikologi
Psikologi
yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek
(Yunani), yaitu : 1) psyche yang
berarti jiwa, 2) logos yang berarti
ilmu. Jadi, secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa.[38] Psikologi
adalah ilmu jiwa yang menyelidiki tentang keadaan jiwa orang berdasarkan cara
berpikir, bertindak, serta perilaku orang itu. Dalam ajaran agama banyak
dijumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang, misalnya
sifat beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang shaleh yang berbuat baik
dan jujur. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami, dan diamalkan seseorang. Dapat juga digunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan
ilmu ini agama dapat menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.[39]
Kita
misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah
lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama.
Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap
keagamaan seseorang. Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat
dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan
sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu
jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita
melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang
sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan
demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan
hidupnya mendapat bimbingan dari agama.[40]
7.
Pendekatan Semantik
Maksud
pendekatan semantik adalah kajian yang menekankan pada aspek bahasa. Maka
studi Islam dengan menggunakan pendekatan semantik sama artinya dengan studi
tentang dengan menekankan pada unsur
bahasa, yang dalam bahasa arab disebut lughawi.
Pendekatan ini sudah demikian popular dalam kajian tafsir dan fikih. Dalam
penelitian hukum Islam dengan pendekatan semantik ada dua pendekatan yang umum digunakan, yakni: (1)
sisi bahasa, (2) dan sisi illat dan hikmah.[41]
Maka yang dimaksud semantik adalah dari sisi bahasa yang cakupan bahasanya
demikian luas, antara lain dari sisi (1) struktur atau gramatikal, (2)
tunjukannya atau dalalah, dan dari
segi (3) maknawi. Pendekatan ini dianggap salah satu ilmu yang sangat penting
karena ilmu ini akan dapat dipahami pesan-pesan lewat al-quran sebagai sumber
ajaran. Pendekatan ini juga yang banyak digunakan ilmuan klasik, bahkan mereka
terkesan menekankan kajian dengan pendekatan semantik ini. Sebaliknya kurang
memperhatikan terhadap konteks waktu konteks tempat, konteks keilmuan seperti:
sosiologi, antropologi, histori atau sejarah dan lainnya. Munculnya konsep ‘amm
dan khass, muhkam dan mutashabih, mutlak dan muqayyad,
qat’I dan dhanni, adalah hasil dari kajian dengan pendekatan semantik.[42]
8. Pendekatan
Interdisipliner
Pendekatan
interdisipliner adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut
pandang dalam studi. Misalnya menggunakan pendekatan sosiologis historis dan
normatif secara bersamaan (Uicha 2011). Dari pendapat tersebut,
pendekatan interdisipliner adalah upaya dalam memahami Islam dengan menggunakan
sejumlah sudut pandang pendekatan, karena dalam teori interdisipliner sangat
penting dibandingkan hanya dengan satu pendekatan. Contoh: interdisipliner,
yaitu mengenai aborsi perlu dilacak atau ditelaah nash al-qur’an dan sunnah nabi
tentang larangan pembunuhan anak, dan tahap penciptaan manusia dihubungkan
dengan teori embriologi.[43]
C.
Penutup
Dari pembahasan di
atas, maka dapat kita ketahui pentingnya pendekatan dalam Studi Islam. Pendekatan
manusia dalam memahami agama yang dimaksud adalah cara pandang atau paradigma
yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan untuk memahami
agama. Ada berbagai pendekatan dalam Studi Islam. pertama,
pendekatan teologi normatif yaitu pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol
keagamaan yang masing-masing bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan
tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan pemahaman yang
lainnya dianggap salah dan yang dimaksud normatif adalah memandang agama dari
segi ajarannya yang pokok dan asli dari tuhan yang di dalamnya belum terdapat
penalaran manusia. Kedua,
pendekatan historis adalah salah satu upaya memahami agama dengan menumbuhkan
perenungan untuk memperoleh hikmah, dengan cara mempelajari sejarah nilai-nilai
Islam yang berisikan kisah dan perumpamaan. Ketiga, pendekatan
sosiologis yaitu pendekatan yang mempelajari kehidupan masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang saling berkaitan serta
keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya sesuatu. Keempat,
pendekatan antropologi yaitu memahami agama dengan cara melihat praktik atau
kebiasaan keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, kelima,
pendekatan filosofis adalah pendekatan yang penilaiannya berdasarkan akal
(rasional) yang berusaha mencari hakikat atau inti atau hikmah. Keenam,
pendekatan psikologi yaitu memahami agama dengan mempelajari jiwa seseorang
dengan cara melihat gejala perilaku yang dapat diamati. Ketujuh,
pendekatan pendekatan semantik adalah studi tentang dengan menekankan pada unsur bahasa, yang
dalam bahasa arab disebut lughawi.
Dan yang terakhir adalah pendekatan Pendekatan interdisipliner adalah
kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang dalam studi.
Dalam hubungan ini dalam memahami agama secara komprehensif
dapat digunakan melalui pendekatan yang sesuai dengan kerangka paradigmanya.
Oleh sebab itu, tidak ada persoalan apakah pendekatan itu melalui pendekatan
teologi normatif, historis, sosiologis, filosofis, sesmantik, psikologi,
antropologis, ataupun interdisipliner yang menggunakan
sejumlah pendekatan atau sudut pandang dalam studi.
[1]
Muhaimin, et al, Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan
(Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 12.
[2]
M. Yatimin Abdullah, Studi
Islam Kontemporer (Jakarta: AMZAH, 2006), hlm. 240.
[3]
Ibid., 241
[4]
H. Koko Abdul Kodir, Metodologi
Studi Islam (Bandung : CV Pustaka Setia,
), hlm. 11.
[5]
M. Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 58
[6]
Taufik Abdullah dan M. Rusli
karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacaca Yogyakarta, 1990), cet II, hlm. 92.
[7]
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta:
ACADEMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 189.
[8]
Supiana, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2009), hlm. 70
[9]
Khioiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam Suatu Konsep
Tentang Seluk-Beluk Pemahaman Ajaran Islam Studi Islam dan Isu-Isu Kontemporer
dalam Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 87-88.
[10]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 34.
[11]
Yatimin Abdullah, Op. Cit., hlm. 59
[12]
Khoiriyah, Op. Cit., hlm. 91-92
[13]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 47-48
[14]
Qur’an Surah Yunus (10) ayat 90
[15]
Surah Al-Mujadillah (58) ayat 21
[16]
M. Yatimin Abdullah Op. Cit., hlm. 60-61
[17]
Khoiriyah, Op. Cit.,
hlm. 88
[19]
Herimanto & Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta:
Bumi Aksara, 2013), hlm. 43
[20]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 40
[21]
M. Yatimin Abdullah Op. Cit., hlm. 63
[22]
Abuddin Nata, op. cit., hlm.
41
[23]
Hasan Baharun, Akmal Mundiri,
dkk, Metodologi Stusi Islam: Percikan
Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama (Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2011),
hlm. 235.
[24]
Koko Abdul Kodir, op. cit., h;m. 113
[25]
M. Yatimin Abdullah Op. Cit., hlm. 67
[26]
Khoiriyah, op. cit., hlm. 90
[27]
Khoiruddin Nasution, op. cit., 209
[29]
M. Yatimin Abdullah Op. Cit., hlm. 63
[32]
Muhammad Mufid, Etika Filsafat Komunikasi (Jakarta:
Kencana, 2009), hlm. 3.
[33]
J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Puataka, 1991), cet. XII, hlm. 280.
[34]
Khoiriyah, op. cit., hlm. 95
[35]
Abuddin Nata, op. cit., hlm. 42
[38]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), hlm. 7.
[39]
M. Yatimin Abdullah Op. Cit., hlm. 69-70
[40] Abuddin Nata, op. cit., hlm.
51
[41]
Khoiruddin Nasution, op. cit., hlm. 215
[43]
H. Koko Abdul Kodir, op.
cit., hlm. 118.
EmoticonEmoticon