Model Pembelajaran Afeksi



A.      Makna Pembelajaran Afeksi atau afektif
Menurut gagne pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa yang berisi serangkaian peristiwa yang di rancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Sedangkan Afektif menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang menunjukan perasaan. Berbeda dengan Mowen yang menyatakan “Afeksi sebagai fenomena kelas mental yang secara unik dikarakteristikkan oleh pengalaman yang disadari yaitu keadaan perasaan subjektif yang biasanya muncul bersama-sama dengan emosi dan suasana hati”.Afeksi merupakan istilah yang lebih luas hal ini mencakup 2 aspek emosi dan suasana hati. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran afeksi adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa agar dapat mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi siswa tersebut.

B.       Prinsip dan Karakteristik Afeksi
1.      Prinsip Pembelajaran Afeksi
Pada dasarnya prinsip pembelajaran afeksi merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, ini berarti bahwa materi pelajaran yang telah disampaikan oleh guru dapat ditangkap oleh siswa sehingga ia dapat meresponnya dengan berbagai ekspresi yang mewakili perasaan mereka dalam pelajaran tertentu. Misalnya, perasaan senang, sedih atau berbagai ekspresi perasaan yang lainnya. Prinsip pembelajaran afeksi ini juga memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupannya secara keseluruhan. Karena keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotorik dipengaruhi juga oleh kondisi afeksi siswa.
2.      Karakteristik Pembelajaran Afeksi
Menurut Muchson dan Samsuri yang mengutip De Blok bahwa “Ciri khas pembelajaran afektif adalah menghayati melalui alam perasaan tentang nilai dari objek yang dihadapi, baik berupa orang , benda, kejadian atau peristiwa”. Ada 5 (lima) tipe karakteristik afeksi yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
a.    Sikap               
Sikap merupakan suatu kencenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Berbeda dengan Muchson dan Samsuri yang mengutip Thurstone bahwa “Sikap merupakan suatu tingkat perasaan positif atau negatif yang ditujukan pada objek-objek Psikologi”. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya  sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sebagaimana dikemukakan Popham bahwa “Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan”. Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran.  Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
b.   Minat
Menurut Getzel “Minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian”. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia “Minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu”. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
c.    Konsep Diri
Menurut Smith “Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki”. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah.  Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi  konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar.
d.   Nilai
Nilai menurut Rokeach merupakan Suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler yaitu Nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya  satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
e.    Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada  bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
C.      Taksonomi atau Pengklasifikasian Aspek Afeksi
Penilaian afeksi atau sikap sangat menentukan keberhasilan peserta didik untuk mencapai ketuntasan dan keberhasilan dalam pembelajaran. Seorang peserta didik yang tidak memiliki minat dalam pembelajaran tertentu maka akan kesulitan untuk mencapai ketuntasan belajar secara maksimal. Sedangkan peserta didik yang memiliki minat terhadap mata pelajaran, maka akan sangat membantu untuk mencapai ketuntasan pembelajaran secara maksimal.
Secara umum aspek afeksi yang perlu dinilai dalam kegiatan proses pembelajaran terhadap berbagai mata pelajaran mencakup beberapa hal, sebagaimana dikemukakan Haryati berikut ini:
1.    Penilaian sikap terhadap materi pelajaran. Berawal dari sikap positif terhadap mata pelajaran akan melahirkan minat belajar, kemudian mudah diberi motivasi serta lebih mudah dalam menyerap materi pelajaran.
2.    Penilaian sikap terhadap guru. Peserta ddik perlu memiliki sikap positif terhadap guru, sehingga ia mudah menyerap materi yang diajarkan oleh guru.
3.    Penilaian sikap terhadap proses pembelajaran. Peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap proses pembelajaran, sehingga pencapaian hasil belajar bias maksimal. Hal ini kembali kepada guru untuk pandai-pandai mencari metode yang kira-kira dapat merangsang peserta didik untuk belajar serta tidak merasaa jenuh.
4.    Peilaian sikap yang berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran. Misalnya peserta didik mempunyai sikap positif terhadap upaya sekolah melestarikan lingkungan dengan mengadakan program penghijauan sekolah.
5.    Penilaian sikap yang berkaitan dengan kompetensi afeksi lintas kurikulum yang rellevan dengan mata pelajaran. Peserta didik memiliki sikap positif terhadap berbagai kompetensi setiap kurikulum yang terus mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan.
Pengukuran ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan, antara lain:
1.      Menerima
Jenjang ini berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk ikut dalam fenomena atau stimulasi khusus (kegiatan dalam kelas, baca buku dan sebagainya) dihubungkan dengan pengajaran jenjang ini dengan menimbukkan, mempertahankan dan mengarahkan perhatian siswa. Sedangkan perumusan untuk membuat soalnya yaitu menanyakan, menjawab, menyebutkan, memilih, mengidentifikasi, memberikan, mengikuti, menyeleksi dan menggunakan dan lain-lain. Sebagai contoh Seiferet mengemukakan “Kemampuan menyadari penggunaan warna dan perspektif yang berbeda dalam dua buah lukisan membutuhkan kesediaan menerima ini”.
2.      Menjawab
Kemampuan ini bertalian dengan partisipasi siswa. Pada tingkat ini siswa hanya menghadiri suatu fenomena tertentu tetapi juga mereaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Hasil belajar dalam jenjang ini dapat menekannkan kemampuan untuk menjawab. Sedangkan perumusan bentuk soalnya menjawab, melakukan, menulis, menceritakan, membantu, melaporkan dan sebagainya.
3.    Menilai
Jenjang inni bertalian dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu Karakterisasi objek, fenomena atau tingkah laku tertentu, jenjang ini berjenjang mulai dari hanya sekedar penerima nialai sampai ketingkat komitmen keterampilan. Sedangkan perumusan soalnya menerangkan, membedakan, memilih, mempelajari, menyeleksi, bekerja, membaca dan sebagainya
4.    Organisasi
Menyatukan nilai yang berbeda, menyelesaikan masalah diantara nilai itu sendiri, jadi tugas seorang guru dalam mengevaluasi ialah memberikan penekanan pada membandingkan, menghubungkan, mengintegrasikan, memodifikasi, menghubungkan, menyusun, memadukan, menyelesaiakn, mempertahankan, menjelaskan, menyatukan dan lain-lain.
5.    Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai
Pada jenjang ini individu memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”. Jadi, tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. Hasil belajar meliputi sanagt banyak kegiatan tapi menekankan lebih besar diletakkan pada kenyataan bahwa tingkah laku itu menjadi cirri khas atau karakteristik sisiwa itu.
Sedangkan untuk mengukur sikap dari beberapa aspek yang perlu dinilai, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: observasi pelaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi dan penggunaan skala sikap. Observasi perilaku di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan yang khusus tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan siswa selama di sekolah.
       
D.  Pentingnya Aspek Afeksi
Pemahaman yang mendalam terhadap arti penting isi materi pelajaran agama, misalnya: sebagaimana Syah mengemukakan tentang “Hikmah ibadah shalat yang anda sajikan dan preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi prinsip-prinsip menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi akan meningkatkan kecakapan ranah afektif para anak didik. Peningkatan kecakapan afektif ini berupa kesadaran beragama yang mantap”. Hal ini tercermin dalam setiap sikap dan tingkah laku baik dalam kehidupanindividu dan sosialnya yang terinternalisasi dalam jiwa seseorang yang mempengaruhi keyakinan dalam menjalankan agama dan mendorong manusia melakukan perbuatan yang menjaga peradaban dan norma bermasyarakat, yang demikian ini akan membawa ia pada kesuksesan hidup yang mampu mengantarkan pada kebahagiaan yang sejati.

E.  Manifestasi Tingkah Laku Afektif
Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman perasaan, seperti: takut, marah, sdih, gembira, kecewa, benci, was-was dan sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Sebagaimana Syah mengutip Darajat Misalnya: Seorang siswa dapat sukses secara afektif dalam belajar agama apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai sistem nilai diri. Kemudian ia menjadikan sistem nilai sebagai penuntun hidup baik dikala suka maupun duka.
Aspek afektif dalam pendidikan agama ini merupakan komponen-komponen emosional pendidikan agama, perasaan yang tidak bias disampaikan melaluui kata-kata. Aspek ini juga berkaitan dengan kecenderungan interpersonal atau intrapersonal. Ini mengasumsikan peserta didik sebagai manusia yang secara alamiah memiliki potensi-potensi emosional dan spiritual atau manusia memiliki potensi untuk memahami makna sinoetik dan sinoptik. Aspek ini menitikberatkan pada proses internalisasi nilai-nilai ajaran agama pasca pemberdayaan linguistic dan logika (kemampuan memahami makna simbolik dan emperik) ini berarti efektifitas internalisasi afektif bisa diamati dari hubungan peserta didik dengan lingkungan sosialnya dan pengabdian manusia kepada Tuhan yang bersifat ritualistic serta pengalaman keagamaan peserta didik.

F.   Metode Proses Pembentukan Sikap
1.    Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru dan mata pelajarannya.
2.    Modeling
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontohan. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginan untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru adalah perilaku-perilaku yang di peragakan atau di demontrasikan oleh orang yang menjadi idaman. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang di hormatinya. Pemodelan biasanya di nilai dari perasaan kagum. Untuk itu Sebagaimana dikemukakan Muchson dan Samsuri “Guru harus pandai-pandai memilih tokoh idola yang cocok untuk dijadikan model atau teladan”.



G.      Model Strategi Pembelajaran Afeksi
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi problematic, melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang di anggapnya baik.
1.      Model Konsiderasi
Model konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurutnya pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk keperibadian, tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki keperibadian terhadap orang lain.
2.      Model Pengembangan Kognitif
Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John dewey dan Jean Piage yang berpendapat bahwa perkembangan manusia menjadi sebagai proses darirestrukturisasi kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
3.    Tehnik Mengklarifikasikan Nilai
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat di tarik sebagai tehnik pengajaran untuk membentuk siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai yang di anggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai menurut anggapanya baik, yang pada akhirnya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.



H.      Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif.
Kesulitan dalam pembelajaran afektif ini dikarenakan: Sulit melakukan control karma banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya di temukan oleh faktor guru, akan tetapi faktor lain terutama faktor lingkungan. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berbeda dengan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses lama. Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa dipungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negeri yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dari itu perlahan tapi pasti budaya asing yang belum cocok dengan budaya lokal menerobos dalam setiap ruang kehidupan.

I.         Afektif Sebuah Strategi Pembelajaran Terapan di Sekolah
Pembelajaran Afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu memperoleh pembelajaran. Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran, melainkan pendidikan. Strategi pembelajaran yang akan kita bahas ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai subjek belajar. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu, memang Afektif dapat muncul dalam kejadian berhavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tidak serta merta menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan tidak indah dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan siswa dapat berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002) yaitu:
1.      Normativist
Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum, kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri, kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri, kepatuhan pada haslinya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
1.    Integralist
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional

2.    Fenomenalist
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
3.    Hedonist
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Faktor Normativist adalah faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap individual, karena kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak. Dari empat faktor diatas terdapat lima tipe kepatuhan, yakni:
a.       Otoritarian yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan
b.      Conformist, kepatuhan ini mempunyi tiga bentuk, antara lain: Conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain, conformist hedonist yaitu kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi” dan conformist integral yaitu kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat
c.    Compulsive yaitu kepatuhan yang tidak konsisten
d.   Hedonik Psikopatik yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain
e.    Supramoralist yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Pada era teknologi informasi yang berkembang secara pesat ini, pendidikan nilai sangatlah penting untuk diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang negatif. Nilai pada seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah diatas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian sikap seorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
1.    Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
2.    Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik
3.    Masalah ini adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga bisa di bina
4.    Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek; berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berhrga/tidak berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dlam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternative (winkel : 2004).
Apakah sikap dapat dibentuk? Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh skinner melalui teorinya operant conditioaning. Proses pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan. Prinsip peniruan ini dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada awalnya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pengarahan dan pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar disadari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.

J.        Peran Guru dalam Pembelajaran Afeksi
Kompetensi ranah afektif guru bersifat tertutup dan abstrak, sehingga sukar untuk diidentifikasi. Dalam Psikologi Pendidikan Syah mengemukakan bahwa kompetensi ranah rasa ini meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi, seperti: cinta, benci, senang, sedih dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun, ranah rasa yang paling penting dan sering dijadikan objek kajian ialah sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan profesi keguruan atau peran guru, antara lain:
a.    Konsep diri dan harga diri guru
Self-concept merupakan totalitas sikap dan persepsi seorang guru terhadap dirinya sendiri atau dianggap deskripsi kepribadian guru yang bersangkutan. Sementara self-esteem diartikan tingkat pandangan dan penilaian guru mengenai dirinya berdasar prestasinya. Titik tekannya harga diri terletak pada taksiran guru terhadap kualitas dirinya yang merupakan bagian dari konsep diri.
Guru yang professional memerlukan konsep diri positif yang tinggi. Guru yang demikian dalam mengajar lebih cenderung memberi peluang kepada anak didik untuk berkreasi. Ia memiliki keberanian mengajak dan mendorong serta membantu anak didik agar lebih maju. Sedangkan guru yang konsep dirinya rendah biasanya ia lebih banyak “berkicau” sehingga tidak member peluang anak didik untuk bertanya atau menyampaikan pendapatnya. Akibatnya anak didik menjadi bisu atau pasif. Sehingga “Sebagaaimana dikemukakan Muslih dalam Character Building Through Education “Proses pembelajaran tidak memberipenekanan dan tumpuan kepada aspek perasaan nilai dan suasana kelas berlaku kurang kondusif”.
b.   Efikasi diri dan Efikasi Konstektual Guru
Self-efficacy guru merupakan keyakinan guru terhadap keefektifan kemampuannya sendiri dalam membangkitkan gairah anak didiknya. Kompetensi ranah rasa ini berhubungan dengan ranah-ranah yang lain artinya keyakinan guru terhadap kemampuannya sebagai pengajar professional tidak hanya dalam menyajikan materi tetapi juga mendayagunakan keterbatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan dengan proses pembelajaran.
c.    Sikap Penerimaan terhadap Diri Sendiri dan Orang Lain
Self-acceptance merupakan gejala ranah rasa seorang guru dalam berkecenderungan positif atau negatif terhadap dirinya sendiri berdasarkan penilaian yang lugas atas bakat dan kemampuannya. Sikap ini diiringi rasa puas terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri guru tersebut. Dapat dikatakan guru ini qonaah yang secara psikologis berpengaruh terhadap sikap menerima orang lain.

K.      Strategi Langkah-Langkah Belajar Afeksi Serta Rencana Pembelajaran sebagaimana terlampir.
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk belajar afeksi adalah:
1.    Mengenal diri sendiri
2.    Dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil
3.    Mampu merasakan dan timbul kesadaran
4.    Ada minat dan kemauan untuk belajar memperbaiki
5.    Memahami dan menilai sesuatu melalui suatu proses

L.       Kesimpulan
1.      Afeksi mencakup 2 aspek emosi dan suasana hati. Jadi pembelajaran afeksi adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa agar dapat mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi siswa tersebut.
2.      Pada dasarnya prinsip pembelajaran afeksi merupakan aspek yang berkaitan dengan ekspresi perasaan. Serta ada 5 tipe karakteristik afeksi yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
3.      Taksonomi aspek afeksi meliputi menerima, menjawab, menilai, organisasi dan karakteriistik dengan suatu nilai.
4.      Pentingnya aspek afeksi ialah kesadaran beragama yang mantap, hal ini tercermin dalam setiap sikap dan tingkah laku yang terinternalisasi dalam jiwa seseorang yang mampu mempengaruhi keyakinan dalam menjalankan perintah agamayang akan membawa ia pada kesuksesan hidup yang mengantarkan pada kebahagiaan sejati.
5.      Peran guru dalam pembelajaran afeksi diantaranya konsep diri dan harga diri guru, efikasi diri dan efikasi konstektual guru dan sikap penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain.
6.      Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk belajar afeksi adalah: mengenal diri sendiri, dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, mampu merasakan dan timbul kesadaran, ada minat dan kemauan untuk belajar memperbaiki, memahami dan menilai sesuatu melalui suatu proses.



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »