MANUSIA
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup
yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind,
epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam
pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian
dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui
bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi
penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi
yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani,
dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan
manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan
bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan
lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh
karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan
Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus
berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk
dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat
oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI,
manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya
pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan
bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi
sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Manusia adalah subyek pendidikan,
sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan adalah
subyek pendidikan yang berarti bertanggung jawab menyelenggareakan
pendidikan. mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan probadi
anak-anak mereka, yang notabene adalah generasi peneruis mereka. manusia
dewasa yang berkebudayaaan terutama yang berfrofesin keguruan (pendidikan)
bertanggung jawab secara formal untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai
dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki ,asyarakan bengsa itu.
Allah menciptakan alam semesta
ini bukan untukNya, tetapi untuk seluruh makhluk yang diberi hidup dan
kehidupan. Sebagai pencipta dan sekaligus pemilik, Allah mempunyai kewenangan
dan kekuasaan absolut untuk melestarikan dan menghancurkannya tanpa diminta
pertanggungjawaban oleh siapapun. Namun begitu, Allah telah mengamanatkan alam
seisinya dengan makhlukNya yang patut diberi amanat itu, taitu MANUSIA. Dan
oleh karenanya manusia adalah makhluk Allah yang dibekali dua potensi yang
sangat mendasar, yaitu kekuatan fisi dan kekuatan rasio, disamping emosi dan
intuisi. Ini berarti, bahwa alam seisinya ini adalah amanat Allah yang kelak
akan minta pertanggungjawaban dari seluruh manusia yang selama hidupnya di
dunia ini pasti terlibat dalam amanat itu.
Manusia diberi hidup oleh Allah
tidak secara outomatis dan langsung, akan tetapi melalui proses panjang yang
melibatkan berbagai faktor dan aspek. Ini tidak berarti Allah tidak mampu atau
tidak kuasa menciptakannya sealigus. Akan tetapi justru karena ada proses
itulah maka tercipta dan muncul apa yang disebut “kehidupan” baik bagi manusia
itu sendiri maupun bagi mahluk lain yang juga diberi hidup oleh Allah, yakni
flora dan fauna.
Kehidupan yang demikian adalah proses hubungan
interaktif secara harmonis dan seimbang yang saling menunjang antara manusia,
alam dan segala isinya utamanaya flora dan fauna, dalam suatu “tata nilai”
maupun “tatanan” yang disebut ekosistem. Tata nilai dan tatanan itulah yang
disebut pula “moral dan etika kehidupan alam” yang sering dipengaruhi oleh
paradigma dinamis yang berkembang dalam komunitas masyarakat disamping pengaruh
ajaran agama yang menjadi sumber inspirasi moral dan etika itu.
BAB
2
KEPEMILIKAN
KONSEP KEPEMILIKAN
- Aspek historis kepemilikan
dalam sejarah ideologi dunia
Sejarah perkembangan system ekonomi dunia mencatat ada
tiga system ekonomi yang memberikan pengaruh cukup besar dalam kehidupan
manusia, yaitu Kapitalis, Sosialis dan Islam. System ekonomi Kapitalis dan
Sosialis telah terbukti gagal menghantarkan manusia mendapatkan kesejahteraan
hidup dan justru memberikan begitu banyak persoalan-persoalan yang cukup pelik.
Islam secara tepat mengatur cara bukan jumlah
pemilikan, serta mengatur cara pemanfaatan pemilikan. Cara pemilikan yang sah
adalah izin dari syariah dalam menguasai zat dan manfaat suatu harta. Artinya
melalui hokum syariah, Allah SWT memberikan sejumlah aturan mengenai cara
perolehan dan pemanfaatan pemilikan. Sehingga system ekonomi Islam mengatur
meski semua benda diciptakan oleh Allah, tidak seluruh benda itu dapat dimiliki
oleh manusia secara bebas. Barang-barang yang telah ditetapkan sebagai milik
bersama (umum) atau milik Negara juga tidak bebas begitu saja dimiliki oleh
individu.
- Jenis Kepemilikan dalam Islam
a.
Kepemilikan
Individu(private property)
Kepemilikan individu adalah hak
individu yang diakui syariah dimana dengan hak tersebut seseorang dapat
memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini dilindungi dan
dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu seseorang akhirnya
dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dimilikinya.
Hukum syariah menetapkan pula
cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada seseorang, yaitu dengan:
1) Bekerja
2) Pewarisan
3) Kebututuhan akan harta untuk
menyambung hidup
4) Pemberian Negara
5) Harta yang diperoleh tanpa usaha
apa pun
b.
Kepemilikan
Publik (collective property)
Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang
telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan
tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-individu dibolehkan
mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara
pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:
·
Sarana umum
yang diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari seperti
air, saluran irigasi, hutan, sumber energy, pembangkit listrik dll.
·
Kekayaan yang
aslinya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut,
sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
·
Barang tambang
(sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas
atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
c.
Kepemilikan
Negara (state property)
Milik Negara adalah harta yang
merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah
semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Sebagai pihak yang memiliki
wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim, sesuai
dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Termasuk dalam hal ini adalah padang pasir, gunung,
pantai, tanah mati yang tidak dihidupkan secara individual, semua tanah
ditempat futuhat yang tidak bertuan yang ditetapkan oleh khalifah/kepala Negara
menjadi milik bait al-mal dan setiap bangunan yang dibangun oleh Negara dan
dananya berasal dari bait al-mal.
3. Pemanfaatan dan Pengembangan Kepemilikan
a. Pemanfaatan Kepemilikan
Kepemilikan akan harta tentu
dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dan larangan memiliki kekayaan
tanpa dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan itu. Kekayaan
yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan
dan produktifitas perekonomian. Bentuk-bentuk pengaturan mengenai pengelolaan
kekayaan mencakup tatacara pembelanjaan dan tatacara pengembangannya. Islam
menghendaki agar siapapun ketika mengelola harta melakukannya dengan cara
sebaik mungkin.
Setiap muslim harus tunduk
mengikuti hukum-hukum syariah yang terkait dengan hal tersebut. Mengingat dalam
Islam setiap semua bentuk pemanfaatan akan dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Allah SWT kelak. Terkait dengan harta, pertanggungjawaban yang
diberikan meliputi dua perkara; tidak hanya untuk apa harta itu digunakan dan
dari mana harta didapat. Sehingga dalam hal ini pengaturan pemanfaatan tersebut
digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu pemanfaatan yang dihalalkan dan
pemanfaatan yang diharamkan dalam islam.
· Pemanfatan
kepemilikan yang dihalalkan
Pengembangan kepemilikan ini
terkait dengan hukum-hukum di dalam Islam. Ada yang bersifat wajib seperti
nafkah, dan keperluan ibadah/zakat. Bersifat sunnah seperti hibah, hadiah dan
sedekah. Dan mubah seperti untuk keperluan rekreasi dan lain-lain.
· Pemanfaatan
kepemilikan yang dilarang
Ada anjuran di dalam islam untuk
tidak memanfaatkan harta dalam aktifitas israf dan tadzbir, taraf
(berfoya-foya), taqtir (kikir), menyuap, dan untuk tindakan kedzaliman.
b. Pengembangan kepemilikan
Pengembangan kepemilikan terkait
dengan suatu mekanisme atau cara yang akan digunakan untuk menghasilkan
pertambahan kepemilikan harta. Misalnya apakah dengan cara diinvestasikan dalam
sebuah perusahaan, untuk modal perdagangan, atau malah dilarikan untuk
perjudian.
1) Pengembangan kepemilikan dalam
islam
Pengembangan kepemilikan tidak
dapat dilepaskan dari hokum-hukum yang terkait dengan masalah pertanian,
perdagangan, dan industry serta jasa. Syariah islam menjelaskan hokum-hukum
seputar perdagangan seperti jual-beli, persyarikatan dan sebagainya; serta
telah menjelaskan hokum seputar industry dan jasa atau ijarah al-ajir. Pengembangan
kepemilikan dalam islam pada dasarnya diberikan kebebasan untuk
mengembangkannya selama tidak terkait dengan larangan.
2) Pengembangan kepemilikan yang
dilarang
Dalam system ekonomi islam,
masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hokum-hukum tertentu yang tidak
boleh dilanggar. Syariah islam melarang pengembangan harta dalam hal :
a. Perjudian
b. Riba
c. Al-Ghabn al-Fahisy /trik keji
d. Tadlis/penipuan
e. Penimbunan
f. Mematok harga
BAB 3
ETIKA
Perekonomian umat manusia mengalami
perkembangan yang luar biasa pada dua abad terakhir. Perkembangan ini terutama
dipicu oleh revolusi industri di Eropa barat pada akhir abad ke-18 dan
permulaan abad ke-19. Implikasi yang paling mencolok dari revolusi industri ini
adalah terjadinya pergeseran pada tatanan kehidupan ekonomi masyarkat, terutama
dalam hal cara-cara berusaha, kepedulian dengan nasib orang lain dan
persoalan-persoalan sosial lannya.
Nilai-nilai moral yang bersumber dari
ajaran agama perlahan mulai luntur dari dunia perekonomian dan kegiatan usaha.
Persaingan tidak sehat, praktik korupsi, monopoli, intimidasi dan cara-cara
yang tidak terpuji lainnya menjadi kebiasaan yang tidak terpisahkan dari dunia
bisnis manapun termasuk dunia Islam.
Oleh karena itu, mengembalikan moral,
terutama yang bersumber dari ajaran Islam ke dalam dunia ekonomi dan bisnis
pada hari ini merupakan usaha yang berat dan sulit dilakukan. Namun demikian,
setelah sekian lama dunia ekonomi dan bisnis larut dalam dominasi faham
materialisme yang hedonis dan jauh dari nilai-nilai moral, terdapat
kecenderungan positif untuk mengembalikan ajaran moral terutama yang bersumber
dari ajaran agama, kebenaran badi yang merupakan kebutuhan bagi manusia di mana
pun dan sampai kapan pun.
BAB 4
KEADILAN
Prinsip adil merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan
keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang
diutus Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi
dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai
sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya
keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Komitmen Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari
penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali, yang
berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah
dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran
berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan
ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Kahduri, The
Islamic Conception of Justice (1984):10).
Tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan,
dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Demikian
kuatnya penekanan Islam pada penegakan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah
sesuatu yang keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan bahwa
hanya mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi
dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan
persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan
sosio ekonomi lebih merupakan akibat adanya tekanan dari kelompok.
Secara konkrit, misalnya sistem kapitalisme yang berkaitan dengan
uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan–tujuan keadilan
sosio ekonomi yang berdasarkan nilai spritual dan persaudaraan universal.
Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank
konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar
(konglomerat).
Kemanfaatan dari lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil
yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini terlihat sangat
jelas terjadi di Indonesia .
Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun
semakin lebar. Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama
kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan tekanan-tekanan
kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Maka, untuk mewujudkan
keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui
pajak dan transfer payment.
BAB 5
SISTEM EKONOMI ISLAM
Zona Ekonomi Islam–Pembahasan
tentang tujuan-tujuan sistem ekonomi Islam di atas menunjukkan bahwa
kesejahteraan material yang berdasarkan
nilai-nilai spiritual yang kokoh merupakan dasar yang sangat perlu dari
filsafat ekonomi Islam.
Karena dasar sistem Islam sendiri berbeda dari sosialisme dan
kapitalisme, yang keduanya terikat pada keduniaan dan tak berorientasi pada nilai-nilai
spiritual, maka suprastrukturnya juga mesti berbeda. Usaha apapun untuk
memperlihatkan persamaan Islam dengan kapitalisme atau sosialisme hanyalah akan
memperlihatkan kekurang-pengertian tentang ciri-ciri dasar dari ketiga sistem
tersebut.
Disamping itu, sistem Islam betul-betul diabdikan kepada
persaudaraan umat manusia yang disertai keadilan ekonomi dan sosial serta
distribusi pendapatan yang adil, dan kepada kemerdekaan individu dalam konteks
kesejahteraan sosial.
Dan perlu dinyatakan disini, bahwa pengabdian ini berorientasi
spiritual dan terjalin erat dengan keseluruhan jalinan nilai-nilai ekonomi dan
sosialnya. Berlawanan dengan ini, orientasi kapitalisme modern pada keadilan
ekonomi dan sosial dan distribusi pendapatan yang adil hanyalah bersifat
parsial saja, dan merupakan akibat desakan-desakan kelompok masyarakat,
bukannya merupakan dorongan dari tujuan spiritual untuk menciptakan
persaudaraan umat manusia, dan tidak merupakan bagian integral dari keseluruhan
filsafatnya.
Sedang orientasi sosialisme, walaupun dinyatakan sebagai hasil dari
filsafat dasarnya, tidaklah benar-benar berarti, karena tiadanya pengabdian
kepada cita persaudaraan umat manusia dan kriteria keadilan dan persamaan yang
adil berdasarkan spiritual di satu pihak, dan di pihak lain karena hilangnya
kehormatan dan identitas individu yang disebabkan karena tidak diakuinya
kemerdekaan individu, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
Komitmen Islam terhadap kemerdekaan individu dengan jelas
membedakannya dari sosialisme atau sistem apapun yang menghapuskan kebebasan
individu. Saling rela tak terpaksa antara penjual dan pembeli, menurut semua
ahli hukum Islam, adalah merupakan syarat sahnya transaksi dagang. Persaratan
ini bersumber dari ayat Al-Qur’an: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu
memakan harta salah seorang diantaramu dengan jalan yang tidak benar;
dapatkanlah harta dengan melalui jual beli dan saling merelakan” (QS. 4:29).
Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat kebebasan dalam way
of life Islam ini adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian besar proses
produksi dan distribusi barang-barang serta jasa diserahkan kepada
individu-individu atau kelompok-kelompok yang dibentuk dengan sukarela, dan
dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan membeli dari siapapun
yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Kebebasan berusaha, berlawanan dengan sosialisme, memberikan
kemungkinan untuk hal itu dan diakui oleh Islam bersama-sama dengan unsur-unsur
yang mendampinginya, yaitu pelembagaan hak milik pribadi.
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur fiqh penuh dengan pembahasan
yang terperinci tentang norma-norma yang menyangkut pencarian dan pembelanjaan
harta benda pribadi dan perdagangan, dan jual beli barang-barang dagangan,
disamping pelembagaan zakat dan warisan.
Yang pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya
pelembagaan hak milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang
produktif tidak diakui oleh Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini
tidak dapat dipandang sesuai dengan ajaran Islam.
Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari
sistem ekonomi Islam, karena di satu pihak pelembagaan hak milik pribadi tidak
akan dapat berfungsi tanpa pasar.
Dan dilain pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen
untuk mengungkapkan keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka
senangi diiringi kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan
kepada para pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk
barang atau jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka.
EmoticonEmoticon