Filsafat Ekonomi Islam

MANUSIA
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Manusia adalah subyek pendidikan,  sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan  adalah subyek pendidikan yang berarti  bertanggung jawab menyelenggareakan pendidikan. mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan probadi anak-anak mereka, yang notabene adalah generasi peneruis mereka.  manusia dewasa yang berkebudayaaan terutama yang berfrofesin keguruan (pendidikan) bertanggung jawab secara formal untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki ,asyarakan bengsa itu.
Allah menciptakan alam semesta ini bukan untukNya, tetapi untuk seluruh makhluk yang diberi hidup dan kehidupan. Sebagai pencipta dan sekaligus pemilik, Allah mempunyai kewenangan dan kekuasaan absolut untuk melestarikan dan menghancurkannya tanpa diminta pertanggungjawaban oleh siapapun. Namun begitu, Allah telah mengamanatkan alam seisinya dengan makhlukNya yang patut diberi amanat itu, taitu MANUSIA. Dan oleh karenanya manusia adalah makhluk Allah yang dibekali dua potensi yang sangat mendasar, yaitu kekuatan fisi dan kekuatan rasio, disamping emosi dan intuisi. Ini berarti, bahwa alam seisinya ini adalah amanat Allah yang kelak akan minta pertanggungjawaban dari seluruh manusia yang selama hidupnya di dunia ini pasti terlibat dalam amanat itu.
Manusia diberi hidup oleh Allah tidak secara outomatis dan langsung, akan tetapi melalui proses panjang yang melibatkan berbagai faktor dan aspek. Ini tidak berarti Allah tidak mampu atau tidak kuasa menciptakannya sealigus. Akan tetapi justru karena ada proses itulah maka tercipta dan muncul apa yang disebut “kehidupan” baik bagi manusia itu sendiri maupun bagi mahluk lain yang juga diberi hidup oleh Allah, yakni flora dan fauna.
Kehidupan yang demikian adalah proses hubungan interaktif secara harmonis dan seimbang yang saling menunjang antara manusia, alam dan segala isinya utamanaya flora dan fauna, dalam suatu “tata nilai” maupun “tatanan” yang disebut ekosistem. Tata nilai dan tatanan itulah yang disebut pula “moral dan etika kehidupan alam” yang sering dipengaruhi oleh paradigma dinamis yang berkembang dalam komunitas masyarakat disamping pengaruh ajaran agama yang menjadi sumber inspirasi moral dan etika itu.





BAB 2
KEPEMILIKAN
KONSEP KEPEMILIKAN
  1. Aspek historis kepemilikan dalam sejarah ideologi dunia
Sejarah perkembangan system ekonomi dunia mencatat ada tiga system ekonomi yang memberikan pengaruh cukup besar dalam kehidupan manusia, yaitu Kapitalis, Sosialis dan Islam. System ekonomi Kapitalis dan Sosialis telah terbukti gagal menghantarkan manusia mendapatkan kesejahteraan hidup dan justru memberikan begitu banyak persoalan-persoalan yang cukup pelik.
Islam secara tepat mengatur cara bukan jumlah pemilikan, serta mengatur cara pemanfaatan pemilikan. Cara pemilikan yang sah adalah izin dari syariah dalam menguasai zat dan manfaat suatu harta. Artinya melalui hokum syariah, Allah SWT memberikan sejumlah aturan mengenai cara perolehan dan pemanfaatan pemilikan. Sehingga system ekonomi Islam mengatur meski semua benda diciptakan oleh Allah, tidak seluruh benda itu dapat dimiliki oleh manusia secara bebas. Barang-barang yang telah ditetapkan sebagai milik bersama (umum) atau milik Negara juga tidak bebas begitu saja dimiliki oleh individu.
  1. Jenis Kepemilikan dalam Islam
a.      Kepemilikan Individu(private property)
Kepemilikan individu adalah hak individu yang diakui syariah dimana dengan hak tersebut seseorang dapat memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu seseorang akhirnya dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dimilikinya.
Hukum syariah menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada seseorang, yaitu dengan:
1)      Bekerja
2)      Pewarisan
3)      Kebututuhan akan harta untuk menyambung hidup
4)      Pemberian Negara
5)      Harta yang diperoleh tanpa usaha apa pun

b.      Kepemilikan Publik (collective property)
Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:
·         Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energy, pembangkit listrik dll.
·         Kekayaan yang aslinya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
·         Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
c.       Kepemilikan Negara (state property)
Milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Sebagai pihak yang memiliki wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Termasuk dalam hal ini adalah padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang tidak dihidupkan secara individual, semua tanah ditempat futuhat yang tidak bertuan yang ditetapkan oleh khalifah/kepala Negara menjadi milik bait al-mal dan setiap bangunan yang dibangun oleh Negara dan dananya berasal dari bait al-mal.
3.      Pemanfaatan dan Pengembangan Kepemilikan
a.       Pemanfaatan Kepemilikan
Kepemilikan akan harta tentu dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dan larangan memiliki kekayaan tanpa dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan itu. Kekayaan yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan produktifitas perekonomian. Bentuk-bentuk pengaturan mengenai pengelolaan kekayaan mencakup tatacara pembelanjaan dan tatacara pengembangannya. Islam menghendaki agar siapapun ketika mengelola harta melakukannya dengan cara sebaik mungkin.
Setiap muslim harus tunduk mengikuti hukum-hukum syariah yang terkait dengan hal tersebut. Mengingat dalam Islam setiap semua bentuk pemanfaatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. Terkait dengan harta, pertanggungjawaban yang diberikan meliputi dua perkara; tidak hanya untuk apa harta itu digunakan dan dari mana harta didapat. Sehingga dalam hal ini pengaturan pemanfaatan tersebut digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu pemanfaatan yang dihalalkan dan pemanfaatan yang diharamkan dalam islam.
·  Pemanfatan kepemilikan yang dihalalkan
Pengembangan kepemilikan ini terkait dengan hukum-hukum di dalam Islam. Ada yang bersifat wajib seperti nafkah, dan keperluan ibadah/zakat. Bersifat sunnah seperti hibah, hadiah dan sedekah. Dan mubah seperti untuk keperluan rekreasi dan lain-lain.
·  Pemanfaatan kepemilikan yang dilarang
Ada anjuran di dalam islam untuk tidak memanfaatkan harta dalam aktifitas israf dan tadzbir, taraf (berfoya-foya), taqtir (kikir), menyuap, dan untuk tindakan kedzaliman.
b.      Pengembangan kepemilikan
Pengembangan kepemilikan terkait dengan suatu mekanisme atau cara yang akan digunakan untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan harta. Misalnya apakah dengan cara diinvestasikan dalam sebuah perusahaan, untuk modal perdagangan, atau malah dilarikan untuk perjudian.
1)      Pengembangan kepemilikan dalam islam
Pengembangan kepemilikan tidak dapat dilepaskan dari hokum-hukum yang terkait dengan masalah pertanian, perdagangan, dan industry serta jasa. Syariah islam menjelaskan hokum-hukum seputar perdagangan seperti jual-beli, persyarikatan dan sebagainya; serta telah menjelaskan hokum seputar industry dan jasa atau ijarah al-ajir. Pengembangan kepemilikan dalam islam pada dasarnya diberikan kebebasan untuk mengembangkannya selama tidak terkait dengan larangan.
2)      Pengembangan kepemilikan yang dilarang
Dalam system ekonomi islam, masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hokum-hukum tertentu yang tidak boleh dilanggar. Syariah islam melarang pengembangan harta dalam hal :
a. Perjudian
b. Riba
c. Al-Ghabn al-Fahisy /trik keji
d. Tadlis/penipuan
e. Penimbunan
f. Mematok harga


BAB 3 
ETIKA
Perekonomian umat manusia mengalami perkembangan yang luar biasa pada dua abad terakhir. Perkembangan ini terutama dipicu oleh revolusi industri di Eropa barat pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Implikasi yang paling mencolok dari revolusi industri ini adalah terjadinya pergeseran pada tatanan kehidupan ekonomi masyarkat, terutama dalam hal cara-cara berusaha, kepedulian dengan nasib orang lain dan persoalan-persoalan sosial lannya.


Nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agama perlahan mulai luntur dari dunia perekonomian dan kegiatan usaha. Persaingan tidak sehat, praktik korupsi, monopoli, intimidasi dan cara-cara yang tidak terpuji lainnya menjadi kebiasaan yang tidak terpisahkan dari dunia bisnis manapun termasuk dunia Islam.
Oleh karena itu, mengembalikan moral, terutama yang bersumber dari ajaran Islam ke dalam dunia ekonomi dan bisnis pada hari ini merupakan usaha yang berat dan sulit dilakukan. Namun demikian, setelah sekian lama dunia ekonomi dan bisnis larut dalam dominasi faham materialisme yang hedonis dan jauh dari nilai-nilai moral, terdapat kecenderungan positif untuk mengembalikan ajaran moral terutama yang bersumber dari ajaran agama, kebenaran badi yang merupakan kebutuhan bagi manusia di mana pun dan sampai kapan pun.


BAB 4
KEADILAN
Prinsip adil merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus  Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Komitmen Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984):10).
Tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Demikian kuatnya penekanan Islam pada penegakan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah sesuatu yang keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan bahwa hanya mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat adanya  tekanan dari kelompok.
Secara konkrit, misalnya  sistem kapitalisme yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan–tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai spritual dan persaudaraan  universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat).
Kemanfaatan dari lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini terlihat sangat jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar. Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Maka, untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment.


BAB 5
SISTEM EKONOMI ISLAM
Zona Ekonomi Islam–Pembahasan tentang tujuan-tujuan sistem ekonomi Islam di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan material yang berdasarkan nilai-nilai spiritual yang kokoh merupakan dasar yang sangat perlu dari filsafat ekonomi Islam.
Karena dasar sistem Islam sendiri berbeda dari sosialisme dan kapitalisme, yang keduanya terikat pada keduniaan dan tak berorientasi pada nilai-nilai spiritual, maka suprastrukturnya juga mesti berbeda. Usaha apapun untuk memperlihatkan persamaan Islam dengan kapitalisme atau sosialisme hanyalah akan memperlihatkan kekurang-pengertian tentang ciri-ciri dasar dari ketiga sistem tersebut.
Disamping itu, sistem Islam betul-betul diabdikan kepada persaudaraan umat manusia yang disertai keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan yang adil, dan kepada kemerdekaan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
Dan perlu dinyatakan disini, bahwa pengabdian ini berorientasi spiritual dan terjalin erat dengan keseluruhan jalinan nilai-nilai ekonomi dan sosialnya. Berlawanan dengan ini, orientasi kapitalisme modern pada keadilan ekonomi dan sosial dan distribusi pendapatan yang adil hanyalah bersifat parsial saja, dan merupakan akibat desakan-desakan kelompok masyarakat, bukannya merupakan dorongan dari tujuan spiritual untuk menciptakan persaudaraan umat manusia, dan tidak merupakan bagian integral dari keseluruhan filsafatnya.
Sedang orientasi sosialisme, walaupun dinyatakan sebagai hasil dari filsafat dasarnya, tidaklah benar-benar berarti, karena tiadanya pengabdian kepada cita persaudaraan umat manusia dan kriteria keadilan dan persamaan yang adil berdasarkan spiritual di satu pihak, dan di pihak lain karena hilangnya kehormatan dan identitas individu yang disebabkan karena tidak diakuinya kemerdekaan individu, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
Komitmen Islam terhadap kemerdekaan individu dengan jelas membedakannya dari sosialisme atau sistem apapun yang menghapuskan kebebasan individu. Saling rela tak terpaksa antara penjual dan pembeli, menurut semua ahli hukum Islam, adalah merupakan syarat sahnya transaksi dagang. Persaratan ini bersumber dari ayat Al-Qur’an: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu memakan harta salah seorang diantaramu dengan jalan yang tidak benar; dapatkanlah harta dengan melalui jual beli dan saling merelakan” (QS. 4:29).
Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat kebebasan dalam way of life Islam ini adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian besar proses produksi dan distribusi barang-barang serta jasa diserahkan kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dibentuk dengan sukarela, dan dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan membeli dari siapapun yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Kebebasan berusaha, berlawanan dengan sosialisme, memberikan kemungkinan untuk hal itu dan diakui oleh Islam bersama-sama dengan unsur-unsur yang mendampinginya, yaitu pelembagaan hak milik pribadi.
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur fiqh penuh dengan pembahasan yang terperinci tentang norma-norma yang menyangkut pencarian dan pembelanjaan harta benda pribadi dan perdagangan, dan jual beli barang-barang dagangan, disamping pelembagaan zakat dan warisan.
Yang pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya pelembagaan hak milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang produktif tidak diakui oleh Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini tidak dapat dipandang sesuai dengan ajaran Islam.
Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari sistem ekonomi Islam, karena di satu pihak pelembagaan hak milik pribadi tidak akan dapat berfungsi tanpa pasar.
Dan dilain pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk mengungkapkan keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka senangi diiringi kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk barang atau jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »