Apabila kita perhatikan
kehidupan masyarakat indonesia yang agraris, praktik pemberian imbalan atas
jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang lain
masih banyak dilaksanakan. Hal ini dilakukan oleh para
petani yang tidak memiliki tanah atau sawah untuk digarap. Dan seseorang yang
memiliki tanah atau sawah namun tidak mempunyai keahlian dalam bertani atau
tidak mampu untuk menggarapnya senidri.
Hal semacam ini dikenal dengan istilah muzara’ah atau
juga dapat disebut dengan mukhabarah. Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik
tanah dan penggarap dengan benih atau bibit berasal dari pemilik tanah.
Sedangkan mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap dengan
benih atau bibit dari penggarap.
Hukum dari muzara’ah dan mukhabarah ini ada sebagian
ulama fiqih yang mengatakan mubah atau boleh. Namun ada pula yang berpendapat
haram.
A.Pengertian Muzara’ah
Secara etimologi muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara
pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Sedangkan secara terminologi terdapat
beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan oleh ulama fiqih, yaitu :
-
Menurut ulama malikiyah, mendefinisikan bahwa muzara’ah adalah perserikatan
dalam pertanian.
-
Menurut ulama hanabilah, mendefinisikan bahwa muzara’ah adalah penyerahan
tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi dua.
-
Menurut Imam
Syafi’I muzara’ah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat).Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya di tanggung oleh pemilik
tanah.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah kerja sama
antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang
jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih atau bibit tanaman
berasal dari pemilik tanah.
B. Dasar Hukum Muzara’ah
Mengenai hukum dari pelaksanaan muzara’ah sendiri, ada
perbedaan dari ulama fiqih. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
· Dari ulama fiqih yang membolehkan atau berhukum mubah. Dasar
kebolehan itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman Allah yang
menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadist Nabi dari Ibnu Abbas
menurut riwayat Al-Bukhari mengatakan :
“ Bahwasanya Rasulallah
saw mempekerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari
apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).
-
“Sesungguhnya Nabi SAW.
Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau
menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya,
barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan
faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah
itu”. (Bukhari dan Muslim dari Abbu Abbas RA).
- Dari
ulama fiqih yang melarang atau berhukum haram, dasar keharaman itu ialah
terletak pada beberapa hadist berikut :
“Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang
paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah
untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian
tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya
Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian. (H.R.Bukhari).
Menurut Al-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah
ia beralasan dengan hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit
Ibn al-Dhahak
“Bahwa
Rasulullah Saw, telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa menyewa dan
Rasulullah Saw bersabda itu tidak mengapa.”
C. Rukun-rukun
dan Syarat-syarat Muzara’ah
Rukun muzara’ah
menurut Hanafiah ialah :
- Pemilik
tanah.
- Petani
/ penggarap tanah.
- Akad,
yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja.
- Tanah,
antara manfaat tanah dan hasil kerja.
- Modal
dan alat-alat untuk menanam.
Syarat- syarat Muzara’ah yaitu :
- Menyangkut
orang yang berakad : baligh dan berakal.
- Menyangkut
benih yang akan ditanam : penentuan tanaman yang akan ditanam, sehingga
jelas dan akan menghasilkan.
- Menyangkut
tanah pertanian :
a.
Menurut adat
dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah
itu tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah
pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.
b.
Batas-batas
tanah itu jelas.
c.
Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
- Menyangkut
dengan hasil panen :
a.
Pembagian
hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b.
Hasil itu benar-benar
milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.
Pembagian
hasil panen itu ditentukan : setengah, sepertiga atau seperempat, sejak dari
awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari.
- Menyangkut
jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, untuk
penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.
D.
Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah
Akad
al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai,yaitu:
1)
Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila
waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan
tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama.
2)
Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah
bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap
batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah
memandangnya tidak batal.
3)
Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya
berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.
E.
Hikmah Muzara’ah
Seseorang
dengan orang lain dapat saling membantu dengan bekerja sama yang saling
meringankan dan menguntungkan, contohnya; seseorang memiliki binatang ternak (
sapi, kerbau dll) dia sanggup untuk berladang dan bertani akan tetapi dia tidak
memiliki sawah. Sebaliknya ada seseorang yang memiliki tanah yang dapat
digunakan sebagai sawah, ladang akan tetapi tidak memiliki hewan yang dapat
digunakan untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut. Disini manfaat dari
muzara’ah adalah dapat memanfaatkan
sesuatu yang tidak dimiliki orang lain sehingga tanah dan binatang dapat
digunakan dan dapat menghasilkan pemasukan yang dapat membiayai kebutuhan
sehari-hari. Yang mana pembagian hasilnya sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.
Sudah
selayaknya sesama muslim itu saling tolong menolong, itupula yang dianjurkan
oleh Allah swt dan Rasul-Nya nabi Muhammad saw. Melalui muzara’ah inilah ajaran
tersebut juga dapat dilaksanakan.
PENUTUP
Muzara’ah atau dapat diartikan sebagai kerjasama dalam
pertanian. Sebenarnya menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak yaitu
pemilik tanah dan penggarap. Bagi pemilik tanah, dengan adanya petani yang
menggarap tanahnya, maka tanah yang ia punyai itu dapat bermanfaat dan dapat
diambil hasilnya. Sedangkan bagi penggarap tanah, ia menjadi memiliki pekerjaan
dan mendapatkan hasil pula dari kerjasama itu.
Meskipun
dilihat dari segi hukumnya sendiri muzara’ah itu ada yang membolehkan dan ada
yang mengharamkan. Namun, kita sebagai umat muslim sebaiknya melihat dari segi
manfaatnya dan tujuan dari bermuzara’ah itu sendiri. Seperti muzara’ah itu
dapat membantu satu sama lain atau tolong menolong. Dan membuat seseorang tidak
memubadzirkan sesuatu, yaitu berupa tanah yang dapat digarap dan menghasilkan
manfaat bagi orang lain.
EmoticonEmoticon