Kaidah Qawaid Ushuliyah



Kaidah Qawaid Ushuliyah - Dalam pembahasan  ushul fiqh, selain membahas mengenai pengertian, sejarah dan sumber ushul fiqh. Didalamnya juga membahas mengenai kaidah-kaidah ushul fiqih yaitu Qawa’id Ushuliyah.
            Qowa’id  ushuliyah merupakan salah satu bagian yang penting dalam pembahasan ushul fiqh, karena qowa’id ushuliyah berisi kaidah-kaidah yang harus diperhatikan dalam mempelajari ushul fiqh.
            Qawa’id ushuliyah yaitu sejumlah proposisi atau pernyataan atau ketentuan dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya yaitu alqur’an dan as sunah.
            Dalam makalah ini, selain membahas definisi atau pengertian juga akan membahas perbedaan Qawa’id Ushuliyyah dengan Qawa’id Fiqiyyah, signifikansi Qawa’id Ushuliyyah, hubungan Nash, Qawa’id Uhuliyyah, Fiqih dan Qawa’id Fiqiyyah dan akan dibahas pula mengenai contoh Qawa’id Uhuliyyah.

A. Definisi Qawaid Ushuliyah (kaidah-kaidah ushuliyah)
            Secara umum, dalil itu ada dua, yaitu dalil tafshili (terinci) dan dalil ijmali (global). Yang dimaksud dalil tafshili adalah alquran dan sunnah, sedangkan yang dimaksud dalil ijmali adalah ushul fiqih. Kemudian dalil syara’ ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal), dan ada yang hanya ditunjukan bagi hokum tertentu dari cabang hokum tertentu, apabila dalil itu bersifat menyeluruh dan berkaitan dengan sumber dan hokum, maka itu disebut qawaid ushuliyah.
          Dari pengertian ushul fiqih terkandung pengertian bahwa objek kajian ushul fiqih itu antara lain adalah kaidah-kaidah penggalian hokum dari sumbernya. Dengan demikian, kaidah ushuliyah adalah sejumlah proposisi atau pernyataan atau ketentuan dalam menggali hokum islam dari sumber-sumbernya, yaitu al-quran dan sunnah.
Menurut ibnu taimiyah kaidah ushuliyah adalah al-adillah al-ammah ( dalil-dalil umum). Menurut Ali Ahmad al-Nadawi  kaidah-kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan objeknya, dimana kaidah ini berfungsi sebagai dzari’ah (jalan) dalam mengistibath hokum-hukum syara’ yang bersifat praktis.
·         Perbedaan Qowaid Ushuliyyah dengan Qowa’id fiqhiyyah
Menurut Ali Ahmad al- Nadawi (1994:68-69) perbedaan kaidah ushul fiqih dengan kaidah fiqih adalah sebagai berikut:
a.       Kaidah ushul fiqih apabila dikaitkan dengan fiqih merupakan parameter bagi istimbath hokum secara benar. Kedudukannya seperti ilmu nahwu dalam hal pembicaraan dan penulisan. Kaidah ushul fiqih merupakan jembatan penghubung antara dalil-dalil dengan hokum. Kaidah-kaidah ushul fiqih mengeluarkan hokum dari dalil-dalil tafshili dan ruang lingkupnya selalu dalil dan hokum. Adapun kaidah-kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah universal atau dominan yang bagian-bagianya adalah beberapamasalah fiqih, dan ruang lingkupnya selalu perbuatan mukalaf.
b.      Kaidah-kaidah ushul fiqih merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan ruang lingkupnya, sedangkan kaidah-kaidah fiqih tidak.
c.       Kaidah-kaidah ushul merupakan dhari’ah (jalan) dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’yang bersifat praktis,sedangkan kaidah-kaidah fiqih merupakan kumpulan darihukum-hukum serupa yang mempunyai ‘ilat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan mempermudah mengidentifikasikannya.
d.      Eksistensi kaidah-kaidah ushul fiqih baik dalam tataran ide maupun kenyataan berada sebelum lahirnya hokum-hukum fiqih, sedangkan kaidah-kaidah fiqih setelah lahirnya hokum-hukum fiqih.
e.       Kaidah-kaidah ushul fiqih adalah kumpulan dalil-dalil fiqih yang dapat mengeluarkan hokum-hukum syara’, sedangkan kaidah-kaidah fiqih adalah kumpulan hokum-hukum syara’.

2.Signifikansi Qowaid Ushuliyyah
Kaidah-kaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Karena, sumber hokum islam itu adalah wahyu yang berupa bahasa, yaitu alquran dan sunnah. Oleh karena itu,  Kaidah ushuliyyah mempunyai fungsi yang sangat besar dalam memahami bahasa wahyu tersebut, karena tanpa alat yang akan digunakan untuk memahami wahyu yang berupa bahasa itu akan kesulitan dalam memahami maksud yang dikandung oleh ayat alquran dan sunnah Nabi Muhammad.
Dengan demikian, kaidah-kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat atau metode dalam menggali ketentuan-ketentuan hokum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu  dan mengeluarkan hokum islam dari sumber-sumbernya.
Menguasai kaidah-kaidah ushuliyyah dapat mempermudah seorang ahli fiqih dalam mengetahui dan mengistinbath hokum allah dari sumber-sumbernya, yaitu alquran dan sunnah.

3.Hubungan Nash, Qowaid Ushuliyyah, Fiqh dan Qowaid fiqhiyyah
            Muhammad Abu Zahrah dalam kitab ushul fiqih-nya menyatakan bahwa sebagian ulama mendefinisikan ijtihat sebagai berikut:
 “Pengerahan kesungguhan dan pencurahan daya upaya, baik dalam mengeluarkan hokum syara’ maupun penerapanya”.
                        Berdasarkan definisi ini, kata Abu Zahrah, ijtihad terbagi atas dua bagian berikut: (a) Ijtihat yang khusus berkaitan dengan istinbath (penggalian) hokum dan penjelasanya, (b) Ijtihat yang khusus berkaitan dengan penerapan hokum. Ijtihat model pertama adalah ijtihat yang sempurna dan khusus bagi sekelompok ulama yang berusaha mengetahui hukum-hukum cabang yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut jumhur ulama atau mayoritas ulama, ijtihat sepetrti ini dapat terputus pada suatu zaman, sedangkan ulama hanabilah berpendapat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari ijtihat model ini.
               Untuk ijtihat model kedua, para ulama sepakat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari ijtihat model kedua ini. Mereka adalah para ulama takhrij dan ulama yang berusaha menerapkan illat-illat hokum yang digali dari persoalan-persoalan cabang yang telah diintibath oleh para ulama terdahulu. Dengan cara tathbiq ini, akan tampak hokum berbagai masalah yang belum diketahui oleh para ulama terdahulu sebagai ulama yang mempunyai otoritas ijtihat model pertama. Tindakan para ulama ini disebut tahqiq al-manath (persoalan dan penerapan illat).
Ijtihat model pertama adalah ijtihat yang menggunakan pendekatan kaidah-kaidah ushuliyah, karena tugasnya adalah mengeluarkan hokum dari sumber-sumbernya. Masalah penerapanya dilapangan adalah tugasnya kaidah-kaidah fiqih.
Contoh popular yang bisa memberikan gambaran kaitan antara ijtihat dengan penggunaan qowa’id fiqhiyyah adalah apa yang terjadi pada imam al-syafi’i. Suatu hari imam al-syafi’I ditanya seorang perempuan yang tidak mempunyai muhrim (wali) dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, dimana dia mengangkat laki-laki lain sebagai muhrimnya (walinya). Kemudian Imam al-Syafi’i menjawab: boleh; lalu perempuan itu bertanya lagi, kenapa (apa alasanya)? Imam syafi’I menjawab: apabila perkara menyempit, maka ia menjadi luas.
Dari peristiwa ini tampak bahwa Imam al-Syafi;I (w.150 H) menggunakan pendekatan ijtihad tathbiqi dengan berpijak kepada qowaid fiqhiyyah. Hal ini dapat dilihat dari keputusannya yang membolehkan pengangkatan tersebut, padahal berdasarkan konsep ijtihad istinbathi yang menggunakan pendekatan kaidah ushuliyyah, jelas hal tersebut bertentangan dengan al-qur;an dan sunnah. Akan tetapi, karena permasalahan ini adalah bersifat khusus untuk perempuan tersebut, maka tidak berarti menghapus hokum alqur’an dan sunnah. Karena hokum islam itu adalah hokum yang bersifat umum bukan khusus atau pengecualian. Sehingga, apabila ada peristiwa-peristiwa yang lainya tampak bertentangan dengan al-quran dan sunnah, maka itu tidak dapat digeneralisir untuk permasalahan-permasalahan lain.
Salah satu media yang dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus yang bersifat khusus ini adalah ilmu qowa’id fiqhiyyah. Disinilah letak urgensi ilmu ini, sehingga tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ali Ahmad al-Nadawi bahwa secara umum kajian ushul fiqih tidak menyentuh hikmah dan tujuan disyariatkannya hokum islam, berbeda dengan qowa’id fiqhiyyah yang menyentuh tujuan, hikmah dan rahasia disyari’atkannya Hukum Islam.
Setiap istinbath (penggalian hokum) dalam syariat Islam harus berpijak kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Dalil-dalil syara’ yang dapat dijadikan sebagai hujjah ada dua macam, yaitu nash (al-Qur’.n dan sunnah) dan ghairi nash. Pada hakikatnya, dalil yang tidak masuk kedalam katagori nash seperti qiyas dan istihsan, digali, bersumber, dan berpedoman kepada nash (al-Qur’an dan sunnah).
Menurut al-Syathibi (w.790H), apabila dikaitkan dengan ushul al-adillah (sumber dalil) maka dalil syara’ terbagi dua, yaitu dalil naql dan dalil ra’yi. Sedangkan jika tidak dikaitkan dengan ushul al-adillah (sumber dalil), keduanya saling berkaitan. Hal ini karena beristidlal (berdalil) dengan naql memerlukan nadhr (pemikiran), dan begitu sebaliknya, ra’yu tidak dianggap sebagai dalil syara’ apabila tidak berdasarkan kepada naql.
Dalil naql adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, sedangkan dalil ra’yi adalah qiyas dan istidlal. Kedua dalil syara ini (naql dan ra’yi) mempunyai muthak (cabang), baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Ijma’, mazhab shahabidan syar’u man qoblana merupakan mulhak dalil naql, karena sifatnya yang ta’abudi dan tidak ada nadhr (pemikiran). Istihsan dan mashalih mursalah, jika dipandang sebagai al-‘umumah al-ma’nawiyyah (makna umum) dalil-dalil naql, merupakan mulhak dalil naql.
Pada dasarnya, dalil syara’ hanya terbatas kepada dalil naql, karena eksistensi ra’yi bukan diakui oleh akal (rasio), tetapi diakui oleh naql. Dalil naql menjelaskan kebolehan berpegang kepada ra’yi. Dengan demikian, dalil naql adalah ‘umdah(pokok) dan menjadi landasan hokum taklifi dari dua sudut pandang, yaitu (a) sudut penunjukanya terhadap hokum yang bersifat cabang, seperti penunjukanya atas hokum bersuci, salat, zakat, haji, jihad, berburu, jual beli dan hudud, (b) sudut penunjukanya terhadap kaidah-kaidah yang menjadi landasan hokum yang bersifat cabang, seperti penunjukannya bahwa ijma’, qiyas, qaul shahabi, dan syar’u man qoblana adalah hujjah.
Statement al-Syathibi (w.790 H) bahwa bagian kedua dari dua sudut pandang dalil naql adalah penunjukanya terhadap kaidah-kaidah yang menjadi landasan hokum yang bersifat cabang, mengindikasikan masuknya kaidah fiqih. Ia menyatakan bahwa kaidah-kaidah yang menjadi landasan hokum yang bersifat cabang adalah ijma’, qiyas, qaul shahabi, syar’u man qoblana, , dan lain-lain. Kaidah fiqih dapat dimasukkan kedalam kaidah yang lain-lain tersebut, karena pada kajian sebelumnya al-Syathibi (w.790 H) telah menguraikan urgensi dan keistimewaan qawa’id fiqhiyyah.

4.Beberapa Kaidah Ushuliyyah
a. Teori Mengambil Petunjuk Nash
            -    Ungkapan Nsh
                 Yang dimaksud ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan kalimat. Dengan pemahaman dari ungkapan nash yaitu arti yang langsung dapat dipahami dari bentuknya.

-          Isyaratnash                                                                                                             Adalah  makna yang tidak secara langsung dipahami dari kata-kata dan bukanmaksud dari susunan kataya, melainkan makna biasa yang sejalan dengan makna langsung dari kata-katanya.
-          Petunjuk nash
Adalah dengan sesuatu yang dipaham dari petunjuk nash yaitu makna yang dipaham dari jiwa dan rasionalitas nash.
-          Kehendak nash
Adalah dengan pemahaman kehendak nash yaitu makna logika yang mana kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan mengira-irakan makna itu.
b. Mafhum Mukhalafah (pengertian kebalikan)
            -    Mafhum al-wasfi (pemahaman dengan sifat)
            Misal; dalam menjelaskan wanita yang haram dikawin.
.... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu). QS.an-nisa’:23
            Mafhum mukhalafahnya adalah istri anak-anak yang bukan kandung, seperti cucu sesusuan.
-          Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
            Misal; ...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. QS.Al-baqarah:187
            Mafhum mukhalafahnya adalah bila terang benang putih dari benang hitam yaitu fajar.
            -    Mafhum Syarat (pemahaman dengan syarat)
            Misal; ...dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya. QS. At-thalaq:6
            Mafhum mukhalafahnya adalah jika istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil.
-          Mafhum adad (pemahaman dengan bilangan)
Misal; maka deralah mereka (yang menuduh) itu delapan puluh kali dera. QS.an-nur : 4
Mafhum mukhalafahnya adalah kurang atau lebih dari 80 kali dera.
-          Mafhum Laqab (pemahaman dengan julukan)
Misal; Muhammad utusan Allah
Mafhum mukhalafahnya adalah selain muhammad.

  
                          Mempelajari ushul fiqih itu tidak lepas dari hal mengenai kaidah-kaidah ushul fiqh (qawaid ushuliyah). Contoh dari kaidah ushuliyah itu diantaranya apabila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang, maka yang didahulukan adalah dalil yang melarang.
                          Ada perbedaan antara Qawa’id Uhuliyyah dengan Qawa’id Fiqiyyah antara lain Qawa’id Uhuliyyah merupakan kaidah – kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan ruang lingkupnya, sedangkan kaidah – kaidah Fiqih tidak dapat diaplikasikan kepada seluruh bagiaanya karena kaidah – kaidah Fiqih ada pengecualiaanya.




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »