Syariat islam
menetapkan bahwa akad pernikahan antara suami istri untuk selama hayat
dikandung badan, sekali nikah untuk selama hidup, agar didalam ikatan
pernikahan suami istri bisa hidup bersama menjalin kasih saying untuk
mewujudkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup (sakinah), memelihara
dan mendidik anak-anak sebagai generasi yang handal.
Terkadang ada beberapa
hal yang menyebabkan runtuhnya bangunan kasih sayang yang telah dibina. Melalui
Talak, Khulu’, Fasakh ataupun kematian yang sewaktu-waktu akan datang kapanpun.
Berikut adalah
pembahasan mengenai berakhirnya pernikahan.
A.
Talak
1.
Pengertian Talak
Secara etimologi kata talak berasal dari
kata: thalaqa-yathluqu-thalaaqan yang
artinya melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepasa atau mengurai tali
pengikat; baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat
perkawinan. Menurut kamus praktis bahasa Indonesia, kata talak berarti perceraian antara
suami dan istri; lepasnya ikatan perkawinan.
Pasal 117 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 menyatakan: Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dalam pasal 129, 130 dan
131.
Secara istilah, ada beberapa rumusan
yang dikemukakan para ulama’, antara lain:
Menurut as-Sayyid Sabiq:
حل رابطة الزواج وانهاءء
العلاقة الزوجية
“Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
Menurut Abdur Rahman al-Jaziri:
ازالة النكاح او نقصان
حلة بلفظ مخصوص
“menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus”.
2.
Hukum menjatuhkan Talak
Hukum talak itu ada bermacam-macam,
yaitu senagai berikut:
1. Wajib, yaitu bagi orang yang suka
meng-ila istrinya. Artinya, bersumpah untuk tidak bersetubuh lagi dengan
istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan. Bila lebih dari empat
bulan, istrinya ingin bersetubuh, tetapi ia tidak juga mau, ketika itu wajib
atasnya menjatuhkan talak satu kali, kalau dia tidak mau, hakim boleh
menjatuhkan walaupun tanpa seizinnya.
2. Sunah, yaitu bagi orang-orang yang
sedang lemah dan tidak kuasa lagi menunaikan kewajiban terhadap istrinya,
sedangkan istrinya itu tidak rela, atau karena tidak cinta lagi terhadap
istrinya itu disebabkan oleh beberapa hal, atau perempuan itu tidak pandai menjaga
kehormatan dirinya, atau perangainya sangat jahat hingga mencemarkan nama si
suami.
3. Haram, yaitu atas orang yang menceraikan
istrinya dalam keadaan haid dan nifas dan lain-lain, kecuali kalau talak itu
dibeli oleh perempuan (khulu’), tidaklah berdosa bila suami menceraikannya
ketika itu, atau dijatuhkan sesudah istri dicampuri dan ia baru selesai dari
haid. Demikian pula haram bila talak dijatuhkan hanya semata-mata ingin
menyia-nyiakan istrinya.
Beberapa hadits yang dapat dijadikan dasar
dalam menentukan hukum talak antara lain:
1. Talak adalah perbuatan halal tapi paling
dibenci Allah, Rasulullah bersabdah :
ابغض
الحلل الي اللله تعالي الطلاق
“Perbuatan halal yang
paling dibenci Allah adalah talak”.
2. Seseorang tidak bole merongrong
kehidupan dan merusak tali hubungan suami istri dan rumah tangga orang lain.
Rasulullah bersabdah:
ليس
منا من خبب امراة علي زوجها او عبدا علي سيده (رواه ابو داود عن ابي هريرة)
“Tidak termasuk
golonganku orang yang merusak hubungan istri dengan suaminya atau merusak
hubungan seorang hamba dengan tuannya”.
3. Seseorang wanita tidak diperbolehkan
meminta agar saudarinya diceraikan untuk ia gantikan kedudukannya. Rasulullah
bersabdah:
لا
يحل لامراة تسا ل طلا ق اختها لتستفرغ صحفتها (رواه البخااري عن هريرة)
“Tidak halal seorang
wanita meminta saudarinya diceraikan untuk dapat menggantikan kedudukannya (sebagai
istri)….”.
4. Istri yang meminta diceraikan oleh
suaminya tanpa alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela. Rasul berkata:
ايما امراة سا لت زوجها
طلاقا من غير با س فحرام عليها رائحة الجنة(رواه الترمذي عن
ثوبان)
“Siapa saja wanita yang
meminta cerai dari suaminya tanpa alasan maka haram baginya bau sorga”.
3.
Macam-macam talak
Diantara maca-macam talak tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak
atau keadaan istri waktu talak itu diucapkan, terdiri dari:
a) Talak Sunni, adalah talak yang
pelaksanaannya sesuai dengantuntutan al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang termasuk
dalam kriteria ini adalah:
Ø Istri sudah pernah dikumpuli.
Ø Istri segera melakukan iddah setelah
ditalak.
Ø Istri yang ditalak dalam keadaan suci,
baik diawal suci atau diakhir suci.
Ø Dalam masa suci pada waktu suami
menjatuhkan talak istri tidak dicampuri.
b) Talak Bid’iy, adalah talak yang
dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntutan agama. Yang masuk dalam kategori ini
adalah:
Ø Talak yang dijatuhkan pada waktu istri
sedang menjalani haid atau sedang nifas.
Ø Talak yang dijatuhkan pada waktu istri
dalam keadaanm suci tetapi telah dikumpuli lebih dahulu.
2) Ditunjau dari kemungkinan suami merujuk kembali
istrinya atau tidak, terdiri dari:
a) Talak Raj’iy
Artinya
talak yang boleh rujuk (kembali) dengan lafal tertentu setelah talak itu
dijatuhkan.
Talak
disini adalah talak yang dijatuhkan sekali atau dua kali. Suami yang
menjatuhkan talak boleh rujuk (kembali) kepada istrinya, setelah istrinya
menjalani masa iddahnya.
Dalam
surat al-Baqarah ayat 229, firma Allah SWT:
Artinya:
Talak (yang dapat
dirujuk) itu boleh dua kali, kemudian boleh rujuk lagi dengan cara pergaulan
yang baik, atau lepaskanlah dengan cara yang baik pula”.
(Q.S. Al-Baqarah:229)
b) Talak Battah
Artinya
talak yang dijatuhkan untuk selama-lamanya dari tidak akan rujuk lagi.
Umpamanya seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau kuceraikan untuk
selama-lamanya”. Menurut Imam Syafi’I, talak semacam ini jatuh menurut niatnya.
Kalau diniatkannya tiga macam talak, jatuhnya ketiganya. Kalau diniatkannya
satu atau dua, jatuhlah talak itu menurut yang diniatkannya.
c) Talak Ba’in
Ialah
talak yang tidak boleh dirujuk lagi setelah dijatuhkan. Talak itu ialah talak
tiga, atau talak yang sudah dijatuhkan tiga kali.
Apalagi
perempuan (istri) itu telah tiga kali diceraikan, dia tidak boleh lagi dirujuk
suaminya. Akan tetapi, boleh dinikahi kembali dengan syarat berikut:
Ø Istrinya itu harus menikah lebih dahulu,
Ø Hendaknya ditunggu perceraiannya lebih
dahulu,
Ø Telah berlalu iddahnya sesudah
deceraikan oleh suaminya yang kedua itu, dan
Ø Suami yang kedua telah bersetubuh dengan
dia (istri yang dinikahi suami kedua).
4.
Rukun dan Syarat Talak
Rukun dan syarat talak terdiri sebagai
berikut:
a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak
talak dan yang berhak menjatuhkannya. Suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
Ø Baligh
Ø Berakal, dan
Ø Atas kehendak sendiri
b. Istri.
Untuk sahnya talak istri harus dalam kekuasaan suami.
c. Sighat atau ucapan talak, yaitu kata
yang menjatuhkan talak.
B.
Khulu’
1.
Pengertian Khulu’
Khulu’ artinya tunggal. Menurut istilah
syara, artinya perceraianyang dimintai oleh istri kepada suaminya dengan
memberikan uang atau lain-lain. Khulu’ dinamakan juga talak yang dibeli oleh si
istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan
istrinya.
Khulu’ disebut juga al-fida’ yaitu tebusan, karena istri menebus dirinya dari suaminya
dengan mengembalikanapa yang pernah diterimanya. Dengan adanya tebusan itu
istri melepaskan diri dari ikatan suaminya.
2.
Dasar hukum Khulu’
Al-Qur’an surat an-Nisa ayat:19
menasehatkan:
Artinya:
“Dan
bergaullah denagn mereka (istri) secara baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai
mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Apabila kebencian itu datang dari pihak
istri, sementara suami masih mencintainya, syariat islam membolehkan istri
untuk membolehkan ikatan suami istri dengan jalan khulu’ yaitu dengan cara
istri mengembalikan apa yang telah diterima dari suami, selama khulu’ itu
digunakan untuk kemaslahatan dirinya dam menghindarkan kesewenang-wenang suami.
Terdapat pada surat al-Baqarah: ayat 229:
Artinya:
“Tidak
hala bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamuberikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatirtidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka itulah orang-orang zalim”.
3.
Sebab-sebab terjadinya Khulu’
Khulu’ dibolehkan bila keduanya
sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah. Si Istri khawatir ,
membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya umpamanya tak mau di suruh
sholat, suaminya itu tak mau dilarang bermain judi, atau suaminya suka menampar
dan menghantam karena urusan kecil saja. Sebaliknya, suami khawatir karena
istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu yang tak diharapkan
terhadap istrinya itu, umpamanya ia menampar, memukul, menghantam dan
sebagainya.
Dalam keadaan seperti itu tidak berdosa
atas keduanya apabila yang seorang menebus dan yang lain menerima. Si istri
tidak pula berdosa menerima tebusan kalau ia menjatuhkan talak.
Jadi khulu’ ini boleh dilakukan, kalau
ada sebab syar’i.
4.
Akibat cerai dengan Khulu’
Jumhur ulama’, termasuk imam madzhab
empat berpendapat bahwa apabila terjadi khulu’, maka istri menguasai dirinya,
ia berhak menentukan nasibnya sendiri, suami tidak boleh merujuknya karena ia
telah mengeluarkan uang (sesuatu) untuk mrlrpaskan diri dari suaminya.
Sekalipun suami bersedia mengembalikan tebusan istrinya, suami tetap tidak
berhak meruju’ istrinya selama iddah.
C.
Fasakh
1.
Pengertian Fasakh
Memfasakhka nikah artinya memutuskan
akad nikah. Apabla salah seorang dari suami istri cacat pada badannya, keduanya
boleh memilih, untuk bercerai atau meneruskan pernikahan itu. Kecacatan itu di
antaranya berikut ini:
Karena ada balak (penyakit belang
kulit).
Karena gila.
Karena canggu (penyakit kusta).
Karena ada penyakit menular, umpamanya
sipilis, TBC, dan lain-lain.
Karena ada daging tumbuh pada kemaluan
yang menghambat maksud perkawinan (jima’).
Unnah, artinya mati zakar, impotent
(tidak hidup untuk jima’) karena tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan
dalam pernikahan.
2.
Bentuk-bentuk Fasakh
Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi dengan
sendirinya di antaranya adalah sebagai berikut:
a)
Karena
rusak atau cacatnya akad pernikahanyang penyebabnya diketahui setelah
pernikahan berlangsung.
b)
Kerena
istri dimerdekakan dari status budak sedangkan suaminya tetap berstatus budak.
c)
Karena
perkawinan yang dilakukan adalah nikah mut’ah (kawin kontrak).
d) Karena menikahi wanita yang masih dalam
masa iddah.
Bentuk-bentuk fasakh yang memerlukan
campur tangan hakim/pengadilan di antaranya adalah sebagai berikut:
a)
Karena
si istri merasa tidak se-kufu (setara/sepadan) dengan suaminya.
b)
Karena
mahar si istri tidak dibayar penuh sesuai dengan yang disebut pada saat akad nikah.
c)
Karena
melalui khiyar al-bulug (kebebasan memilih ketika sudah dewasa).
d) Karena salah satu dari suami-istri
menderita penyakit gila.
e)
Karena
si istri yang masih musyrik tidak mau masuk islam sedangkan si istri tersebut
menuntut perceraian dari suaminya.
f)
Karena
salah satu dari suami-istri murtad.
3.
Sebab-sebab terjadinya Fasakh
Fasakh itu boleh dilakukan apabila ada
sebab-sebab syar’I yang mungkin merugikan pihak perempuan, diantaranya:
a) Pernikahan yang dilakukan oleh wali
dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya bukan dengan merdeka, atau
orang pezina dengan oranmg yang masih terpelihara dan sebagainya.
b) Si suami tidak mau memulangakan istrinya
dan tidak pula menafkahinya, sedangkan istrinya tidak rela.
PENUTUP
Berdasarkan
berbagai penjelasan diatas maka yang dapat dibedakan dari talak, khulu’ dan
fasakh adalah sebagai berikut:
Talak
|
Khulu’
|
Fasakh
|
Berakhirnya
perkawinan dengan inisiatifnya dari suami.
|
Berakhirnya
perkawinan dengan iInisiatifnya dari istri.
|
Berakhirnya
perkawinan dengan atas putusan Pengadilan.
|
Antara
talak, khulu’ dan fasakh mempunyai persamaan, bahwa ketiganya adalah atas
kehendak suami. Jadi apapun bentuk putusnya pernikahan itu harus dengan
keputusan seorang suami, karena suami adalah yang memiliki tanggungjawab penuh
dalam suatu pernikahan.
Apabila
kematian, maka salah seorang suami atau istri yang meninggalkan itu telah
terputus secara dhohir dan batin. Jadi kematian sepenuhnya adalah hak Allah
sebagai Tuhannya. Akan tetapi suami atau istri yang ditinggalkan tersebut
memiliki kewajiban yang harus dilakukan setelah kematian menjemputnya.
EmoticonEmoticon