Dewasa ini perkembangan
zaman semakin maju sehingga memunculkan permasalah-permasalah baru, tak
terkecuali dalam dunia fiqh kontemporer. Masalah fiqh kontemporer menjadi
polemik karena tidak terdapat nash-nash yang menerangkan hukum-hukumnya secara
jelas. Di antara masalah-masalah tersebut salah satunya masalah kepeminpinan
dalam sholat. Seperti dalam kasus Aminah Wadud yang cukup menghebohkan. Ia
menjadi imam dalam sholat berjamaah dimana makmumnya terdapat orang laki-laki
dan seorang muadzinnya juga seorang perempuan tidak berjilbab.
Kemudian kasus fiqh
kontemporer yang kedua adalah tentang penggunaan pil atau obat penunda haid
untuk dapat melaksanakan ibadah seperti untuk ibadah haji dan puasa. Pada dasarnya
wanita dalam keadaan haid tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah-ibadah
seperti itu. Oleh karenanya, sebagian orang menggunakan obat tersebut agar
dapat melaksanakan ibadah.
Dengan melihat kasus-kasus
tersebut bagaimana sebenarnya Islam memberikan hukum-hukum yang tidak termaktub
secara jelas dalam nash al-Quran maupun al-Hadits. Makalah ini akan membahas
masalah-masalah di atas berdasarkan beberapa pandangan para ulama dan
dasar-dasar yang dijadikan hukum mereka.
A.
Wanita menjadi Imam dalam Shalat
1. Argumen Ketidak Absahan Wanita menjadi Imam bagi
Laki-laki
Hadis yang dijadikan argumentasi ketidakabsahan
perempuan menjadi imam bagi laki-laki adalah:
a. Hadis riwayat Ibnu Majah
Ibnu
Majah (berkata), Muhammad bin Abdullah bin Numair menyampaikan kepada kami (bahwa)
al-Walid bin Bukair bin Abu Janad (Khabbab) menyampaikan kepada kami, (bahwa)
Abdulah bin Muhammad al-‘Adwi menyampaikan kepadaku, (riwayat) dari ‘Ali bin zaid
dari Sa’id bin al-Musayab, dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Rasulullah saw,
memberikan khutbah kepada kami seraya bersabda: “Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah sebelum kalian meninggal
dunia, dan bersegeralah mengerjakan amal shalih sebelum kalian semua sibuk.
Jalinlah komunikasi dengan Tuhan dengan memperbanyak dzikir dan banyak
bersedekah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Niscaya
Allah akan memberikan rizki, akan menolong, dan akan melindungi kalian.
Ingatlah bahwa Allah telah mewajibkan shalat Jum’at pada tempat, hari, bulan
dan tahun ini sampai hari ini sampai hari kimat. Barang siapa meninggalkannya
pada masaku atau setelah aku meninggal dunia, sedangkan ada imam yang adil atau
tidak adil, menggangap enteng atau mengingkarinya, maka Allah tidak akan
melindungi dan tidak akan memberikan berkah. Ingatah, tidak ada shalat, tidak
ada zakat, tidak ada haji, tidak puasa, dan tidak ada kebaikan sampai ia
bertaubat. Barang siapa bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya. Ingatlah,
janganlah dijadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki. Janganlah
menjadikan orang arab sebagai imam bagi orang yang berhijrah dan janganlah
orang yang berdosa menjadi imam bagi orang mukmin kecuali kekuasaan memaksanya
dengan ancaman pedang dan cemeti.”
b.
Hadits riwayat al-baihaqi
Terjemahnya :
Al-Baihaqi
(berkata), Abu al-Husain bin Basyran al-‘Adli menyampaikan kepada kami, (bahwa)
Abu Ja’far Muhammad bin Umar al-Bakhtari menyampaikan kepada kami, (bahwa)
Muhammad bin Abdu al-Muluk al-Daqiqi menyampaikan kepada kami, (bahwa) Yazid
bin Harun menyampaikan kepada kami (bahwa) Fudail bin Marzuk menyampaikan kepada
kami, (bahwa) al-Walid bin Bukair menyampaikan kepadaku (bahwa) Abdullah bin Muhammad
menyampaikan kepadaku (riwayat) dari ‘Ali bin Zaid, dari Sa’id bin al-Musayab dari
Jabir bin Abdillah, dia berkata: “saya mendengar Rasulullah saw, bersabda di atas
mimbar. “wahai manusia bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah azza wajalla
sebelum kamu meninggal dunia, dengan bersegeralah mengerjakan amal shalih.
Jalinlah komunikasi antara kamu dengan Tuhanmu dengan memperbanyak dzikir dan
shadaqah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Niscaya
Allah akan memberi pahala dan memberikan rizki kepadamu. Ketahuilah bahwa Allah
‘Azza Wajalla telah mewajibkan shalat Jumat kepadamu pada tempat, hari, bulan dan tahun ini sampai hari
kimat. Barang siapa meninggalkannya pada masaku atau setelah aku meninggal
dunia dengan mengingkarinya atau mengganggap enteng sedangkan ada imam yang
adil atau tidak adil, maka Allah tidak akan melindunginya. Ingatlah, tidak ada
keberkahan, tidak ada shalat, tidak ada wudhu, tidak ada zakat, tidak ada haji,
tidak ada witir kecuali ia taubat. Barang siapa bertaubat, Niscaya Allah akan
menerima taubatnya. Ingatlah, janganlah
menjadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki dan Janganlah orang Arab
menjadi imam bagi orang yang berhijrah dan janganlah orang yang berdosa menjadi
imam bagi orang yang beriman kecuali kekuasaan memaksanya dengan ancaman pedang
dan cemeti.”
2. Argumen Keabsahan
Wanita menjadi Imam bagi Laki-laki
Adapun hadits yang dijadikan argumen
keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki adalah ;
a.
Hadits
riwayat Abu Dawud
عن أمي ورقة بنت عبدالله
بن نوفل الأنصارية أن النّبي لما غزبدرا قالت قلت لهه يارسول الله ائذن لي فالغزو معك أمرّض مرضكم لعل الله أن يرزقني
شهادة قال قرّى قي بيتك فإن اللهتعالى يرزقك الشهادة قال فكانت تسمى الشهية قال
وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت النبي أن تتخذ في دارها مؤذنا فأذن لها قال وكانت
قد دبّرت غلاما لهاوجارية فقاما إليها بالليل فغمّاها بقطيفة لها حتى ماتت وذههب
فأصبح عمر فقام في الناس فقال من كان عنده من هذين علم أومنم رآهما فليجئ بهما
فصلبافكنا أوّل مصلوب بالمدينة......
Abu Dawud berkata, Utsman ibnu Syaibah
menyampaikan kepada kami, (bahwa) Waki’ bin al-Jarh menyampaikan kepada kami,
(bahwa) al-Walid bin Abdullah bin Juma’i menceritakan kepada kami, dia berkata
kakekku dan Abdu al-Rahman bin Naufal al-Anshari telah menyampaikan kepadaku,
(riwayat) dari Umi Waraqah binti Naufal bahwasannya Rasulullah saw, pada waktu
perang Badar (mengunjunginya). Umi Waraqah berkomentar “wahai Rasulullah kuatkanlah aku untuk mengikuti perang bersamamu agar
aku dapat merasakan sakit sebagaimana engkau merasakannya. Selain itu, supaya Allah
memberikan predikat syahadah. Rasulullah saw, bersabda tinggallah engkau di
rumah, karena Allah telah memberimu predikat al-Syahadah. Ia berkata, Umi Waraqah
disebut sebagai syahidah. Umi Waraqah (adalah) ahli al-Qur’an, kemudian Nabi
menjadikan seorang muadzin beradzan
untuk Umi Waraqah .kemudian Umu Waraqah melaksanakan shalat bersama anak
laki-laki (walad) dan hamba sahaya yang membunuhnya dengan membekap menggunakan
beludru sutra. Kedua pembantunya lari setelah berhasil membunuhnya. Pada pagi
hari Umar bin Khattab as. mengumumkan barangsiapa yang menemukan kedua pembantu
tersebut untuk melaporkannya. Setelah kedua pembantu tersebut ditemukan,
kemudian mereka berdua disalib. Merekalah orang yang pertama yang dikenakan
hukum salib di Madinah.
b.
Hadits riwayat Ahmad Bin Hanbal
Abdullah (berkata), bahwa ayahku
menyampaikan kepadaku (bahwa) Abu Nuaim menyampaikan kepada kami, dan berkata,
(bahwa) al-Walid menyampaikan kepada kami, (riwayat) dari Umi Waraqah binti
Abdullah bin al-Hirtsi al-Anshari yang telah memahami al-Quran (ahli al-Qur’an)
dan Nabi saw, telah memerintah dia (Umi Waraqah) untuk menjadi imam bagi anggota
keluarganya dan menjadikan seorang muadzin baginya.
Berdasarkan hadits yang dijadikan
argumentasi mengenai boleh tidaknya seorang perempuan menjadi imam bagi
laki-laki, dapat dikatakan bahwa dasar hukum keduanya tidaklah menduduki posisi
yang kuat karena berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap hadits tersebut
didapati bahwa kedua hadits itu ternyata dhaif
(lemah). Hanya saja tingkat kedhaifan
hadits yang dijadikan argumentasi ketidakbolehan perempuan menjadi imam bagi
laki-laki, kualitasnya lebih dhaif (lemah)
dibandingkan kedhaifan hadits yang dijadikan
argumentasi bolehnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki.
Sebagaimana
telah diketahui bahwa bila ada dua dasar hukum yang berbeda dijadikan argumen ketika menetapkan hukum dalam satu
masalah, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk dijadikan sebagai
solusinya.
Pertama,
mengkompromikan kedua nash tersebut dengan benar. Apabila cara pertama tidak
dimungkinkan, maka kedua, mengutamakan
salah satunya (tarjih). Dan apabila
cara kedua juga tidak memungkinkan maka cara
ketiga, harus dicari Asbab al-Wurudnya (latar belakang munculnya hadits).
Apabila cara ketiga juga tidak dapat dilakukan, maka dibiarkan apa adanya
(tawaquf).
Dalam hal ini cara pertama tidak mugkin
dilakukan karena tidak ada indikasi yang dapat dijadikan alasan
pengkompromiannya. Begitu juga dengan cara yang ketiga, karena hadits tersebut
tidak diketahui Asbabul Wurudnya.
Yang mungkin dilakukan adalah cara kedua yakni mentarjih (mencari yang lebih kuat) salah satunya. Yakni mentarjih
dari segi sanad yang terdapat dalam hadits tersebut.
Hadits yang dijadikan argumen dalam
menetapkan hukum perempuan tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki mempunyai
banyak cacat baik kredibilitas periwayatnya maupun dari persambungan sanadnya.
Sedangkan hadits yang dijadikan argumen kebolehannya hanya mempunyai kekurangan
dari satu orang periwayatnya yang dipandang majhul.
Di samping itu, hadits tentang keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki
diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitabnya, Shahih Ibnu Khuzaimah dan
diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dipandang sebagai hadits
hasan (oleh Ibnu Khuzaimah w.311 H). Sementara hadits yang dijadikan argumen
ketidakabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki dipandang dhaif sanadnya oleh al-Baihaqi. Dengan
demikian kedua hadits di atas memberikan dukungan terhadap hadits yang
dijadikan argumentasi keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sehingga
derajat hadits dhaif dari hadits Abu
Dawud dan Ibnu Majah yang diteliti, peringkatnya naik menjadi hadits hasan li ghairihi.
Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi laki-laki
selama mempunyai kapasitas keilmuan yang mencukupi untuk dapat dijadikan
sebagai imam shalat. Alasan lain yang dapat dikemukakan bahwa hadits-hadits
tentang siapakah yang berhak menjadi imam tidak membicarakan tentang jenis
kelamin yang menjadi ketentuan seseorang dapat dijadikan sebagai imam shalat.
Dalam hadits-hadits tersebut dinyatakan bahwa yang paling utama menjadi imam
adalah orang yang paling baik bacaan al-Qur’annya atau orang yang paling
memahami al-Quran dan seterusnya sampai kepada orang yang paling tua usianya apabila
komunitas orang yang akan melaksanakan shalat berjamaah tersebut mempunyai
kapasitas intelektual yang sama dalam bidang agama. [1]
3. Beberapa Pandangan
tentang Wanita menjadi Imam bagi
Laki-laki
a.
Pendapat Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih kontemporer
dari Syiria)
Wahbah az-zuhaili, ahli fiqh kontemporer
dari syria dalam ensiklopedia fiqhnya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
mengatakan bahwa perempuan hanya sah menjadi imam shalat bagi jama’ah kaum
perempuan. Dan tidak boleh menjadi imam bagi jama’ah kaum laki-laki. Ia
menyebutkan, sebagai alasan, antara lain hadits Nabi Saw dari aisyah, ummu
salamah dan Atha:
Diriwayatkan
dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Atha’: bahwa
perempuan (hendaklah) menjadi imam bagi kaum perempuan.
Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Ummu
Waraqah bahwa Nabi Muhammad Saw memperkenalkan dia menjadi imam bagi kaum
perempuan penghuni rumahnya.
Tampak jelas, pandangan Wahbah dalam hal
ini memutlakkan ketidakabsahan kepemimpinan perempuan dalam shalat tanpa
membedakan antara makmum yang sudah tua maupun yang masih muda atau bahkan
anak-anak yang merdeka atau budak.
Pernyataan hadits ad-Daruquthuni
sebagaimana yang dijadikan dasar hukum Wahbah tadi, jelas berbeda dengan hadits
Abu Dawud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Ummu Waraqah. Jika
Ad-Daruquthuni secara jelas menyebutkan bahwa adalah kaum perempuan yang
menjadi makmum dari Ummu Waraqah, maka Abu Dawud menyebutkan bahwa yang menjadi
makmum dari Ummu Waraqah adalah penghuni rumahnya, tanpa menyebutkan apakah
mereka perempuan semua atau laki-laki semua atau juga laki-laki dan perempuan.
b.
Pendapat ash-Shan’ani (penulis kitab Subul as-Salam)
Berbeda dengan Wahbah, ash-shan’ani,
penulis kitab Subul al-Salam
menyimpulkan dari hadits Ummu Waraqah ini bahwa mereka yang menjadi makmum Ummu
Waraqah adalah laki-laki dan perempuan. Karena secara ekplisit (menurut
lahiriahnya) hadits ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam shalat
bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya dan perempuan hamba sahaya.
Pernyataan ash-shan’ani ini memberikan
kesan kepada kita bahwa keabsahan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki
dibatasi pada laki-laki yang sudah tua atau laki-laki muda tetapi berstatus
hamba sahaya. Jadi, tidak untuk laki-laki muda yang merdeka. [2]
c. Fatwa MUI
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI
VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa
Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.
Hal ini, menurut MUI, perlu dilakukan
untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum wanita
menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.
MUI mendasarkan fatwanya pada
Kitabullah, sunnah Rasulullah SAW, ijma' ulama, dan kaidah-kaidah fiqh.
Firman
Allah SWT antara lain: "Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)..."
(QS An-Nisaa': 34)
Sedangkan hadits-hadits Nabi SAW, antara
lain:
"Rasulullah
memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya."
(HR Abu Dawud dan Al-Hakim).
Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam
bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)
Rasulullah bersabda, “Saf (barisan dalam shalat berjamaah)
terbaik untuk laki-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka
adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah
saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama
(depan).”
Rasulullah bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan, dan himar (keledai).”
(HR Muslim)
Rasulullah bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi
perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari)
Adapun berdasarkan ijma’ sahabat, di
kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana diantara
makmumnya adalah laki-laki. "Para
sahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang
makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu
Salamah," jelas MUI seraya mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi karya
Al-Mubarakfuri.
Dan berdasarkan kaidah Fiqh: “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah
tauqif dan ittiba” (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
Selain itu, MUI juga memerhatikan
pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab al-Umm (Imam Syafi’i),
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah).
"Berdasarkan
telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman
Nabi Muhammad SAW, tidak diketahui adanya shalat jamaah di mana imamnya wanita
dan makmumnya laki-laki", kata MUI.
Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang
Fatwa MUI memutuskan fatwa. "Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI
memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya
terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang
menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan
ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.[3]
B.
Penundaan Haid untuk Ibadah
1.
Sekilas tentang Haid
Haid merupakan peristiwa pendarahan
secara periodik dan siklik (bulanan) yang disertai pelepasan selaput lendir
(endometrium) rahim. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang alami pada seorang
wanita normal. Dikatakan periodik karena datangnya haid pada seorang wanita
mempunyai periode-periode tertentu, dimana haid pertama kali datang pada usia
sekitar 12 tahun yang bisa saja belum teratur, dan akan teratur saat usia
reproduksi (20-35 tahun), mulai saat mendekati menopause (klimakterik), dan
berhenti saat menopouse (49-50 th).
Haid merupakan ketetapan Allah atas
setiap wanita, sebagaimana hadits berikut:
“Kami keluar (dari Madinah), tidak ada yang
kami tuju ke arah untuk berhaji. Maka ketika kami berada di tempat yang bernama
Sarif, aku haid. Rosulullah masuk menemaniku yang ketika itu sedang menangis.
Maka beliau bersabda: “ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid? ‘aku
menjawab: ’ya…. beliau bersabda: “Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang
Allah tetapkan atas anak-anak kaum Adam. Kerjakannlah serta sebagaimana
layaknya orang berhaji. Akan tetapi, janganlah engkau melakukan Thawaf di
Baitullah’. (HR. Buchari dari Aisyah r. a )
2.
Pandangan Islam tentang Penundaan Haid
Kemampuan ilmu pengetahuan telah
memungkinkan wanita untuk mengatur haidnya sehingga mampu beribadah dengan
lebih sempurna. Yakni dengan menelan beberapa butir pil penunda haid. Dewasa
ini seringkali ditemui obat pengatur haid dijual bebas di pasaran. Sayangnya,
banyak wanita yang kurang bijak dalam menggunakannya.
Obat pengatur haid sama halnya dengan
obat-obat lainnya. Penggunaanya bisa menimbulkan efek samping bagi pemakainya.
Namun, obat pengatur haid ini mempunyai efek samping yang berbeda. Beda bagi
pemakainya, oleh karena itu, pemakaianya harus diatur sesuai jadwal dan
pengawasan dokter.
Menghadapi persoalan yang dilematis ini,
Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada 1984, menggelar sebuah sidang komisi fatwa
khusus mengenai penggunaan pil tersebut. Hasilnya cukup positif, menurut MUI,
dalam sidang komisi itu hukum menelan pil penunda haid tergantung pada niat dan
kondisi yang dialami oleh sang pelaku. Perbuatan itu bisa saja haram jika
mengarah pada hal yang membahayakan, bisa juga makruh dalam kondisi mempunyai
pilihan dan bisa mubah jika tidak ada pilihan lain.
Pembolehan itu berdasarkan pada kaidah
ushul fiqh: “ segala sesuatu pada
dasarnya halal, hingga datang pengharaman”. Pil anti haid tidak pernah
dikenal sebelumnya dalam Islam. Oleh karena itu, penggunaan pil tersebut
dibolehkan.[4]
Menurut
Dr. Hj Huzaemah Tahido, Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas
Syariah IAIN Jakarta, menelan pil penunda haid dengan niat melengkapkan puasa
ramadhan sama hukumnya menelan pil tersebut dengan tujuan beribadah haji. Hanya
ada satu syarat pada kasus bulan puasa. Yaitu, pengguna pil penunda haid harus
merasa tidak mampu meng-qadha puasanya di bulan-bulan lain. Selain soal niat
dan kesanggupan, beliau menambahkan bahwa izin dokter juga termasuk dalam
syarat lain penggunaan pil anti haid.[5]
Menurut Dr. Setiawan Budi Utomo,
sebagaimana pendapat para ulama lainnya seperti Yusuf al-Qardhawi, akan lebih
afdhal jika segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat dan
fitrahnya. Maka, selama darah haid ini merupakan perkara thabii, yaitu proses
alamiah biologis yang fitri sebaiknya dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat
dan fitrahnya sebagaimana ia di ciptakan oleh Allah.
Namun demikian, jika ada wanita muslimah
menggunakan pil untuk mengatur atau menunda waktu haidnya sehingga ia dapat
terus berpuasa pada bulan Ramadhan, hal ini tidak terlarang dengan syarat pil
tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan dirinya dan dapat
di pertanggung jawabkan keamanannya sehingga tidak akan menimbulkan mudharat
baginya. Untuk mengetahui hal ini, sudah tentu harus di konsultasikan dulu dengan
ahli obstetri (dokter ahli kandungan). Apabila dokter menyatakan bahwa
penggunaan pil tersebut tidak membahayakan dirinya, maka ia boleh
menggunakannya. Dan puasa yang dilakukannya dengan mengundurkan masa haid dari
masa kebiasaannya tetap sah dan diterima (maqbul), insya Allah, apabila
memenuhi syarat rukun lainnya dengan meninggalkan segala pantangannya.[6]
3.
Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pil
anti haid
Sidang komisi fatwa Majelis Ulama
Indonesia tanggal 12 januari 1979 telah mengambil keputusan:
a. Penggunaan pil anti haid untuk
kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
b. Penggunaan pil anti haid dengan maksud
agar dapat mencukupi puasa ramadhan sebelum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanita yang
sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.
c. Penggunaan pil anti haid selain dari dua
hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran
hukum agama, hukumnya haram.[7]
Kesipulan
·
Hadis
Abu Dawud yang meriwayatkan kasus Ummu Waraqah menjadi imam shalat bagi anggota
kelurganya yang terdiri dari dua orang laki-laki dan perempuan yang berstatus
budak merupakan kasus khusus dan tidak berlaku umum karena laki-laki yang
menjadi makmum adalah budak.
·
Perempuan
merdeka statusnya kebih tinggi daripada laki-laki budak.
·
Tidak
ada pratek lain tentang perempuan menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki di
dalam kelurga pada masa Nabi dan para sahabat. Oleh karena itu, kasus ini hanya berlaku khusus bagi keluarga Ummu
Waraqah.
·
Hadis
Abu dawud di atas sama sekali tidak dapat dijadikan dalil oleh para ulama
dahulu untuk membenarkan perempuan
menjadi imam shalat secara umum bagi laki-laki seperti yang telah lumrah
berjalan. Akan tetapi, hadis tersebut hanya berlaklu khusus pada kasus
Ummu Waraqah di atas.
·
Bahwa,
kebanyakan para fuqaha telah sepakat tentang tidak diperbolehkannya perempuan
menjadi imam bagi laki-laki.
Dan kesimpulan dari penggunaan pil haid adalah:
a. Penggunaan pil anti haid untuk
kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
b. Penggunaan pil anti haid dengan maksud
agar dapat mencukupi puasa ramadhan sebelum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanita yang
sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.
c. Penggunaan pil anti haid selain dari dua
hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran
hukum agama, hukumnya haram.
DAFTAR PUSTAKA
Assyaukanie
Luthfi, 1998, Politik, HAM, Dan Isu-Isu
Teknologi Dalam Fikih Kontemporer,
(Bandung: Pustaka Hidayah)
Budi Utomo
Setiawan, 2003, Fiqih Aktual: Jawaban
Tuntas Masalah Kontemporer,(Jakarta: Gema Insani Press)
Ma’ruf Amin,
Dkk, 2005, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Sejak 1975, (Jakarta:
Erlangga)
Muhammad Husein, 2001, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: Lkis)
Subhan Zaitunah, 2008, Menggagas
Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: ciputat molek)
[1] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan.
(Jakarta: ciputat molek. 2008). Hlm. 125-130
[2] Husein Muhammad. Fiqh
perempuan. (yogyakarta: Lkis. 2001). Halm. 34-35
[3] Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. (Jakarta: Erlangga. 2005). Halm.
225-228
[4] Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih
Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h.207
[5] Ibid., h.207-208
[6] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer,(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h.243
[7] Ibid. 129
EmoticonEmoticon