Wanita menjadi Imam dalam Shalat


Dewasa ini perkembangan zaman semakin maju sehingga memunculkan permasalah-permasalah baru, tak terkecuali dalam dunia fiqh kontemporer. Masalah fiqh kontemporer menjadi polemik karena tidak terdapat nash-nash yang menerangkan hukum-hukumnya secara jelas. Di antara masalah-masalah tersebut salah satunya masalah kepeminpinan dalam sholat. Seperti dalam kasus Aminah Wadud yang cukup menghebohkan. Ia menjadi imam dalam sholat berjamaah dimana makmumnya terdapat orang laki-laki dan seorang muadzinnya juga seorang perempuan tidak berjilbab.
Kemudian kasus fiqh kontemporer yang kedua adalah tentang penggunaan pil atau obat penunda haid untuk dapat melaksanakan ibadah seperti untuk ibadah haji dan puasa. Pada dasarnya wanita dalam keadaan haid tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah-ibadah seperti itu. Oleh karenanya, sebagian orang menggunakan obat tersebut agar dapat melaksanakan ibadah.
Dengan melihat kasus-kasus tersebut bagaimana sebenarnya Islam memberikan hukum-hukum yang tidak termaktub secara jelas dalam nash al-Quran maupun al-Hadits. Makalah ini akan membahas masalah-masalah di atas berdasarkan beberapa pandangan para ulama dan dasar-dasar yang dijadikan hukum mereka.


A.    Wanita menjadi Imam dalam Shalat
1. Argumen Ketidak Absahan Wanita menjadi Imam bagi Laki-laki
       Hadis yang dijadikan argumentasi ketidakabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki adalah:
a.    Hadis riwayat Ibnu Majah
               Ibnu Majah (berkata), Muhammad bin Abdullah bin Numair menyampaikan kepada kami (bahwa) al-Walid bin Bukair bin Abu Janad (Khabbab) menyampaikan kepada kami, (bahwa) Abdulah bin Muhammad al-‘Adwi menyampaikan kepadaku, (riwayat) dari ‘Ali bin zaid dari Sa’id bin al-Musayab, dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Rasulullah saw, memberikan khutbah kepada kami seraya bersabda: “Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah sebelum kalian meninggal dunia, dan bersegeralah mengerjakan amal shalih sebelum kalian semua sibuk. Jalinlah komunikasi dengan Tuhan dengan memperbanyak dzikir dan banyak bersedekah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Niscaya Allah akan memberikan rizki, akan menolong, dan akan melindungi kalian. Ingatlah bahwa Allah telah mewajibkan shalat Jum’at pada tempat, hari, bulan dan tahun ini sampai hari ini sampai hari kimat. Barang siapa meninggalkannya pada masaku atau setelah aku meninggal dunia, sedangkan ada imam yang adil atau tidak adil, menggangap enteng atau mengingkarinya, maka Allah tidak akan melindungi dan tidak akan memberikan berkah. Ingatah, tidak ada shalat, tidak ada zakat, tidak ada haji, tidak puasa, dan tidak ada kebaikan sampai ia bertaubat. Barang siapa bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya. Ingatlah, janganlah dijadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki. Janganlah menjadikan orang arab sebagai imam bagi orang yang berhijrah dan janganlah orang yang berdosa menjadi imam bagi orang mukmin kecuali kekuasaan memaksanya dengan ancaman pedang dan cemeti.”
b.  Hadits riwayat al-baihaqi
  Terjemahnya :
               Al-Baihaqi (berkata), Abu al-Husain bin Basyran al-‘Adli menyampaikan kepada kami, (bahwa) Abu Ja’far Muhammad bin Umar al-Bakhtari menyampaikan kepada kami, (bahwa) Muhammad bin Abdu al-Muluk al-Daqiqi menyampaikan kepada kami, (bahwa) Yazid bin Harun menyampaikan kepada kami (bahwa) Fudail bin Marzuk menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-Walid bin Bukair menyampaikan kepadaku (bahwa) Abdullah bin Muhammad menyampaikan kepadaku (riwayat) dari ‘Ali bin Zaid, dari Sa’id bin al-Musayab dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: “saya mendengar Rasulullah saw, bersabda di atas mimbar.  “wahai manusia bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah azza wajalla sebelum kamu meninggal dunia, dengan bersegeralah mengerjakan amal shalih. Jalinlah komunikasi antara kamu dengan Tuhanmu dengan memperbanyak dzikir dan shadaqah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Niscaya Allah akan memberi pahala dan memberikan rizki kepadamu. Ketahuilah bahwa Allah ‘Azza Wajalla telah mewajibkan shalat Jumat kepadamu pada  tempat, hari, bulan dan tahun ini sampai hari kimat. Barang siapa meninggalkannya pada masaku atau setelah aku meninggal dunia dengan mengingkarinya atau mengganggap enteng sedangkan ada imam yang adil atau tidak adil, maka Allah tidak akan melindunginya. Ingatlah, tidak ada keberkahan, tidak ada shalat, tidak ada wudhu, tidak ada zakat, tidak ada haji, tidak ada witir kecuali ia taubat. Barang siapa bertaubat, Niscaya Allah akan menerima taubatnya. Ingatlah,  janganlah menjadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki dan Janganlah orang Arab menjadi imam bagi orang yang berhijrah dan janganlah orang yang berdosa menjadi imam bagi orang yang beriman kecuali kekuasaan memaksanya dengan ancaman pedang dan cemeti.”

2. Argumen Keabsahan Wanita menjadi Imam bagi Laki-laki
       Adapun hadits yang dijadikan argumen keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki adalah ;
a.    Hadits riwayat Abu Dawud

عن أمي ورقة بنت عبدالله بن نوفل الأنصارية أن النّبي لما غزبدرا قالت قلت لهه يارسول الله ائذن   لي فالغزو معك أمرّض مرضكم لعل الله أن يرزقني شهادة قال قرّى قي بيتك فإن اللهتعالى يرزقك الشهادة قال فكانت تسمى الشهية قال وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت النبي أن تتخذ في دارها مؤذنا فأذن لها قال وكانت قد دبّرت غلاما لهاوجارية فقاما إليها بالليل فغمّاها بقطيفة لها حتى ماتت وذههب فأصبح عمر فقام في الناس فقال من كان عنده من هذين علم أومنم رآهما فليجئ بهما فصلبافكنا أوّل مصلوب بالمدينة......
       Abu Dawud berkata, Utsman ibnu Syaibah menyampaikan kepada kami, (bahwa) Waki’ bin al-Jarh menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-Walid bin Abdullah bin Juma’i menceritakan kepada kami, dia berkata kakekku dan Abdu al-Rahman bin Naufal al-Anshari telah menyampaikan kepadaku, (riwayat) dari Umi Waraqah binti Naufal bahwasannya Rasulullah saw, pada waktu perang Badar (mengunjunginya). Umi Waraqah berkomentar “wahai Rasulullah kuatkanlah aku untuk mengikuti perang bersamamu agar aku dapat merasakan sakit sebagaimana engkau merasakannya. Selain itu, supaya Allah memberikan predikat syahadah. Rasulullah saw, bersabda tinggallah engkau di rumah, karena Allah telah memberimu predikat al-Syahadah. Ia berkata, Umi Waraqah disebut sebagai syahidah. Umi Waraqah (adalah) ahli al-Qur’an, kemudian Nabi menjadikan seorang muadzin  beradzan untuk Umi Waraqah .kemudian Umu Waraqah melaksanakan shalat bersama anak laki-laki (walad) dan hamba sahaya yang membunuhnya dengan membekap menggunakan beludru sutra. Kedua pembantunya lari setelah berhasil membunuhnya. Pada pagi hari Umar bin Khattab as. mengumumkan barangsiapa yang menemukan kedua pembantu tersebut untuk melaporkannya. Setelah kedua pembantu tersebut ditemukan, kemudian mereka berdua disalib. Merekalah orang yang pertama yang dikenakan hukum salib di Madinah.
b. Hadits riwayat Ahmad Bin Hanbal
       Abdullah (berkata), bahwa ayahku menyampaikan kepadaku (bahwa) Abu Nuaim menyampaikan kepada kami, dan berkata, (bahwa) al-Walid menyampaikan kepada kami, (riwayat) dari Umi Waraqah binti Abdullah bin al-Hirtsi al-Anshari yang telah memahami al-Quran (ahli al-Qur’an) dan Nabi saw, telah memerintah dia (Umi Waraqah) untuk menjadi imam bagi anggota keluarganya dan menjadikan seorang muadzin baginya.
       Berdasarkan hadits yang dijadikan argumentasi mengenai boleh tidaknya seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, dapat dikatakan bahwa dasar hukum keduanya tidaklah menduduki posisi yang kuat karena berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap hadits tersebut didapati bahwa kedua hadits itu ternyata dhaif (lemah). Hanya saja tingkat kedhaifan hadits yang dijadikan argumentasi ketidakbolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki, kualitasnya lebih dhaif (lemah) dibandingkan kedhaifan hadits yang dijadikan argumentasi bolehnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki.
       Sebagaimana telah diketahui bahwa bila ada dua dasar hukum yang berbeda dijadikan  argumen ketika menetapkan hukum dalam satu masalah, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk dijadikan sebagai solusinya.
 Pertama, mengkompromikan kedua nash tersebut dengan benar. Apabila cara pertama tidak dimungkinkan, maka kedua, mengutamakan salah satunya (tarjih). Dan apabila cara kedua juga tidak memungkinkan maka cara ketiga, harus dicari Asbab al-Wurudnya (latar belakang munculnya hadits). Apabila cara ketiga juga tidak dapat dilakukan, maka dibiarkan apa adanya (tawaquf).
       Dalam hal ini cara pertama tidak mugkin dilakukan karena tidak ada indikasi yang dapat dijadikan alasan pengkompromiannya. Begitu juga dengan cara yang ketiga, karena hadits tersebut tidak diketahui Asbabul Wurudnya. Yang mungkin dilakukan adalah cara kedua yakni mentarjih (mencari yang lebih kuat) salah satunya. Yakni mentarjih dari segi sanad yang terdapat dalam hadits tersebut.
       Hadits yang dijadikan argumen dalam menetapkan hukum perempuan tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki mempunyai banyak cacat baik kredibilitas periwayatnya maupun dari persambungan sanadnya. Sedangkan hadits yang dijadikan argumen kebolehannya hanya mempunyai kekurangan dari satu orang periwayatnya yang dipandang majhul.
             Di samping itu, hadits tentang keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitabnya, Shahih Ibnu Khuzaimah dan diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dipandang sebagai hadits hasan (oleh Ibnu Khuzaimah w.311 H). Sementara hadits yang dijadikan argumen ketidakabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki dipandang dhaif sanadnya oleh al-Baihaqi. Dengan demikian kedua hadits di atas memberikan dukungan terhadap hadits yang dijadikan argumentasi keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sehingga derajat hadits dhaif dari hadits Abu Dawud dan Ibnu Majah yang diteliti, peringkatnya naik menjadi hadits hasan li ghairihi.
       Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi laki-laki selama mempunyai kapasitas keilmuan yang mencukupi untuk dapat dijadikan sebagai imam shalat. Alasan lain yang dapat dikemukakan bahwa hadits-hadits tentang siapakah yang berhak menjadi imam tidak membicarakan tentang jenis kelamin yang menjadi ketentuan seseorang dapat dijadikan sebagai imam shalat. Dalam hadits-hadits tersebut dinyatakan bahwa yang paling utama menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaan al-Qur’annya atau orang yang paling memahami al-Quran dan seterusnya sampai kepada orang yang paling tua usianya apabila komunitas orang yang akan melaksanakan shalat berjamaah tersebut mempunyai kapasitas intelektual yang sama dalam bidang agama. [1]

3. Beberapa Pandangan tentang  Wanita menjadi Imam bagi Laki-laki
a.    Pendapat Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih kontemporer dari Syiria)
       Wahbah az-zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari syria dalam ensiklopedia fiqhnya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, mengatakan bahwa perempuan hanya sah menjadi imam shalat bagi jama’ah kaum perempuan. Dan tidak boleh menjadi imam bagi jama’ah kaum laki-laki. Ia menyebutkan, sebagai alasan, antara lain hadits Nabi Saw dari aisyah, ummu salamah dan Atha:
Diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Atha’: bahwa perempuan (hendaklah) menjadi imam bagi kaum perempuan.

       Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Ummu Waraqah bahwa Nabi Muhammad Saw memperkenalkan dia menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya.
       Tampak jelas, pandangan Wahbah dalam hal ini memutlakkan ketidakabsahan kepemimpinan perempuan dalam shalat tanpa membedakan antara makmum yang sudah tua maupun yang masih muda atau bahkan anak-anak yang merdeka atau budak.
       Pernyataan hadits ad-Daruquthuni sebagaimana yang dijadikan dasar hukum Wahbah tadi, jelas berbeda dengan hadits Abu Dawud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Ummu Waraqah. Jika Ad-Daruquthuni secara jelas menyebutkan bahwa adalah kaum perempuan yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah, maka Abu Dawud menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah penghuni rumahnya, tanpa menyebutkan apakah mereka perempuan semua atau laki-laki semua atau juga laki-laki dan perempuan.  
b.      Pendapat ash-Shan’ani (penulis kitab Subul as-Salam)
       Berbeda dengan Wahbah, ash-shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam menyimpulkan dari hadits Ummu Waraqah ini bahwa mereka yang menjadi makmum Ummu Waraqah adalah laki-laki dan perempuan. Karena secara ekplisit (menurut lahiriahnya) hadits ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam shalat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya dan perempuan hamba sahaya.
       Pernyataan ash-shan’ani ini memberikan kesan kepada kita bahwa keabsahan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki dibatasi pada laki-laki yang sudah tua atau laki-laki muda tetapi berstatus hamba sahaya. Jadi, tidak untuk laki-laki muda yang merdeka. [2]

c. Fatwa MUI
       Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.
       Hal ini, menurut MUI, perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum wanita menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.
       MUI mendasarkan fatwanya pada Kitabullah, sunnah Rasulullah SAW, ijma' ulama, dan kaidah-kaidah fiqh.
Firman Allah SWT antara lain: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)..." (QS An-Nisaa': 34)
       Sedangkan hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:
       "Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya." (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).
       Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)
       Rasulullah bersabda, “Saf (barisan dalam shalat berjamaah) terbaik untuk laki-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan).”
       Rasulullah bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan,   dan himar (keledai).” (HR Muslim)
       Rasulullah bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari)

       Adapun berdasarkan ijma’ sahabat, di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana diantara makmumnya adalah laki-laki. "Para sahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah," jelas MUI seraya mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi karya Al-Mubarakfuri.
       Dan berdasarkan kaidah Fiqh: “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba” (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
       Selain itu, MUI juga memerhatikan pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah).
       "Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, tidak diketahui adanya shalat jamaah di mana imamnya wanita dan makmumnya laki-laki", kata MUI.
       Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. "Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."
       Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.[3]

B.     Penundaan Haid untuk Ibadah
1.                     Sekilas tentang Haid
       Haid merupakan peristiwa pendarahan secara periodik dan siklik (bulanan) yang disertai pelepasan selaput lendir (endometrium) rahim. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang alami pada seorang wanita normal. Dikatakan periodik karena datangnya haid pada seorang wanita mempunyai periode-periode tertentu, dimana haid pertama kali datang pada usia sekitar 12 tahun yang bisa saja belum teratur, dan akan teratur saat usia reproduksi (20-35 tahun), mulai saat mendekati menopause (klimakterik), dan berhenti saat menopouse (49-50 th).
       Haid merupakan ketetapan Allah atas setiap wanita, sebagaimana hadits berikut:
       “Kami keluar (dari Madinah), tidak ada yang kami tuju ke arah untuk berhaji. Maka ketika kami berada di tempat yang bernama Sarif, aku haid. Rosulullah masuk menemaniku yang ketika itu sedang menangis. Maka beliau bersabda: “ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid? ‘aku menjawab: ’ya…. beliau bersabda: “Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang Allah tetapkan atas anak-anak kaum Adam. Kerjakannlah serta sebagaimana layaknya orang berhaji. Akan tetapi, janganlah engkau melakukan Thawaf di Baitullah’. (HR. Buchari dari Aisyah r. a )
2.    Pandangan Islam tentang Penundaan Haid
       Kemampuan ilmu pengetahuan telah memungkinkan wanita untuk mengatur haidnya sehingga mampu beribadah dengan lebih sempurna. Yakni dengan menelan beberapa butir pil penunda haid. Dewasa ini seringkali ditemui obat pengatur haid dijual bebas di pasaran. Sayangnya, banyak wanita yang kurang bijak dalam menggunakannya.
       Obat pengatur haid sama halnya dengan obat-obat lainnya. Penggunaanya bisa menimbulkan efek samping bagi pemakainya. Namun, obat pengatur haid ini mempunyai efek samping yang berbeda. Beda bagi pemakainya, oleh karena itu, pemakaianya harus diatur sesuai jadwal dan pengawasan dokter.
       Menghadapi persoalan yang dilematis ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada 1984, menggelar sebuah sidang komisi fatwa khusus mengenai penggunaan pil tersebut. Hasilnya cukup positif, menurut MUI, dalam sidang komisi itu hukum menelan pil penunda haid tergantung pada niat dan kondisi yang dialami oleh sang pelaku. Perbuatan itu bisa saja haram jika mengarah pada hal yang membahayakan, bisa juga makruh dalam kondisi mempunyai pilihan dan bisa mubah jika tidak ada pilihan lain.
       Pembolehan itu berdasarkan pada kaidah ushul fiqh: “ segala sesuatu pada dasarnya halal, hingga datang pengharaman”. Pil anti haid tidak pernah dikenal sebelumnya dalam Islam. Oleh karena itu, penggunaan pil tersebut dibolehkan.[4]
       Menurut Dr. Hj Huzaemah Tahido, Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah IAIN Jakarta, menelan pil penunda haid dengan niat melengkapkan puasa ramadhan sama hukumnya menelan pil tersebut dengan tujuan beribadah haji. Hanya ada satu syarat pada kasus bulan puasa. Yaitu, pengguna pil penunda haid harus merasa tidak mampu meng-qadha puasanya di bulan-bulan lain. Selain soal niat dan kesanggupan, beliau menambahkan bahwa izin dokter juga termasuk dalam syarat lain penggunaan pil anti haid.[5]
Menurut Dr. Setiawan Budi Utomo, sebagaimana pendapat para ulama lainnya seperti Yusuf al-Qardhawi, akan lebih afdhal jika segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat dan fitrahnya. Maka, selama darah haid ini merupakan perkara thabii, yaitu proses alamiah biologis yang fitri sebaiknya dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya sebagaimana ia di ciptakan oleh Allah.
       Namun demikian, jika ada wanita muslimah menggunakan pil untuk mengatur atau menunda waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan Ramadhan, hal ini tidak terlarang dengan syarat pil tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan dirinya dan dapat di pertanggung jawabkan keamanannya sehingga tidak akan menimbulkan mudharat baginya. Untuk mengetahui hal ini, sudah tentu harus di konsultasikan dulu dengan ahli obstetri (dokter ahli kandungan). Apabila dokter menyatakan bahwa penggunaan pil tersebut tidak membahayakan dirinya, maka ia boleh menggunakannya. Dan puasa yang dilakukannya dengan mengundurkan masa haid dari masa kebiasaannya tetap sah dan diterima (maqbul), insya Allah, apabila memenuhi syarat rukun lainnya dengan meninggalkan segala pantangannya.[6]
3.    Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pil anti haid
       Sidang komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 12 januari 1979 telah mengambil keputusan:
a.    Penggunaan pil anti haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
b.    Penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa ramadhan sebelum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanita yang sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.
c.    Penggunaan pil anti haid selain dari dua hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.[7]


 Kesipulan
·         Hadis Abu Dawud yang meriwayatkan kasus Ummu Waraqah menjadi imam shalat bagi anggota kelurganya yang terdiri dari dua orang laki-laki dan perempuan yang berstatus budak merupakan kasus khusus dan tidak berlaku umum karena laki-laki yang menjadi makmum adalah budak.
·         Perempuan merdeka statusnya kebih tinggi daripada laki-laki budak.
·         Tidak ada pratek lain tentang perempuan menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki di dalam kelurga pada masa Nabi dan para sahabat. Oleh karena itu, kasus ini  hanya berlaku khusus bagi keluarga Ummu Waraqah.
·         Hadis Abu dawud di atas sama sekali tidak dapat dijadikan dalil oleh para ulama dahulu untuk membenarkan  perempuan menjadi imam shalat secara umum bagi laki-laki seperti yang telah lumrah berjalan. Akan tetapi, hadis tersebut hanya berlaklu khusus pada kasus Ummu Waraqah di atas.
·         Bahwa, kebanyakan para fuqaha telah sepakat tentang tidak diperbolehkannya perempuan menjadi imam bagi laki-laki.

       Dan kesimpulan dari penggunaan pil haid adalah:
a.    Penggunaan pil anti haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
b.    Penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa ramadhan sebelum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanita yang sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.
c.    Penggunaan pil anti haid selain dari dua hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.





DAFTAR PUSTAKA

Assyaukanie Luthfi, 1998, Politik, HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih      Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah)
Budi Utomo Setiawan, 2003, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,(Jakarta: Gema Insani Press)
Ma’ruf Amin, Dkk, 2005, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975,  (Jakarta: Erlangga)
Muhammad Husein, 2001, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: Lkis)
Subhan Zaitunah, 2008, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: ciputat molek)



[1] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. (Jakarta: ciputat molek. 2008). Hlm. 125-130
[2] Husein Muhammad. Fiqh perempuan. (yogyakarta: Lkis. 2001). Halm. 34-35
[3] Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. (Jakarta: Erlangga. 2005). Halm. 225-228
[4] Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h.207
[5] Ibid., h.207-208
[6] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h.243
[7] Ibid. 129

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »