Segala
musibah dan bencana yang menimpa manusia merupakan qadha dan qadhar Allah.
Namun manusia wajib berikhtiar memperkecil risiko keuangan yang timbul. Upaya
ini seringkali tidak memadai karena yang harus ditanggung lebih besar yang
diperkirakan, asuransi bisa menjadi pilihan untuk menimalisir risiko yang
timbul.[1]
Dalam
kegiatan bisnis asuransi merupakan suatu kegiatan yang diarahkan untuk
memproteksi keadaan di masa mendatang yang belum pasti terjadi yang berkaitan
dengan nilai aktivitas ekonomi seseorang. Risiko sendiri dapat didefinisikan
sebagai kemungkinan untuk luka, rusak, atau hilang, sedangkan manajemen risiko didefinisikan
sebagai suatu usaha untuk mengetahui,
menganalisis, memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih baik.
A. Pengertian Asuransi
1.
Pengertian Asuransi
konvensional
Dalam
disiplin ilmu ekonomi, asuransi merupakan suatu lembaga keuangan yang dapat
menghimpun dana dalam jumlah besar, yang dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan, dan bermanfaat bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam bisnis asuransi karena sesungguhnya asuransi bertujuan memberikan
perlindungan atas keuangan, yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa yang tidak
diduga sebelumnya.[2]
Kata
asuransi berasal dari bahasa Inggris yaitu insurance
yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam
Kamus Besar Indonesia dengan padanan kata ”pertanggungan” Dalam bahasa Belanda
disebut dengan istilah assurantie
(asuransi) dan verzekering
(pertanggungan).[3]
Definisi
asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang
usaha perasuransian Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa ”asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan pergantian kepada tertanggung atas kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[4]
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 246 dijelaskan
bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah ”suatu perjanjian
(timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seseorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral)”.[5]
Dari uraian
mengenai definisi asuransi diatas, maka paling tidak ada tiga unsur pokok
penting berkenaan dengan asuransi, yaitu ; pertama, pihak penjamin yang
berjanji akan membayar uang kepada pihak terjamin jika terjadi peristiwa yang
tidak diinginkan. Kedua, pihak terjamin yang berjanji akan membayar premi
kepada pihak penjamin. Ketiga adalah suatu peristiwa yang semula belum jelas
akan terjadi. [6]
Adapun ciri –ciri
khas yang melekat pada asuransi konvensional adalah sebagai berikut :
1.
Asuransi konvensional adalah akad mulzim ( perjanjian yang wajib
dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban
tertanggung untuk membayar premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar
klaim asuransi jika terjadi evenement.
2.
Akad asuransi ini adalah akad muawadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua
orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
3.
Akad asuransi adalah akad yang bersifat gharar, karena masing-masing dari
kedua belah pihak pada melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia
berikan dan jumlah yang akan diterima.
4.
Akad asuransi ini adalah akad idzan (pendudukan) terhadap pihak yang kuat
yakni perusahaan asuransi, karena dialah yang menentukan syarat-syarat
pertanggungan secara sepihak sebagaimana yang tertuang dalamm polis asuransi.
Dari uraian diatas
maka asuransi konvensional terdapat unsur-unsur yang secara tegas dilarang oleh
Islam. Unsur –unsur itu yakni unsur ketidakpastian (gharar), unsur perjudian
(maisyir), dan usur Riba. Adanya unsur-unsur tersebut yang membuat asuransi
konvensional dilarang dalam islam. [7]
2.
Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi
Syariah adalah saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang
atau pihak melalui investasi dalam bentuk tabarru’
yang memberikan dan pengembalian untuk menghadapi Risiko tertentu melalui akad
(perjanjian) yang sesuai dengan syariah.[8]
Islam memandang ”pertanggungan” sebagai suatu fenomena sosial yang dibentuk
atas dasar saling tolong menolong dan rasa kemanusiaan. Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi
syariah, memberi definisi tentang asuransi. Menurutnya, Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/ pihak melalui
investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi suatu risiko tertentu
melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.[9]
Dari definisi di atas tampak bahwa asuransi syariah bersifat saling
melindungi dan tolong menolong yang disebut dengan ”ta’awun”. Yaitu, prinsip hidup saling melindungi dan saling
menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota peserta asuransi
syariah dalam menghadapi malapetaka (risiko).[10]
Oleh karena itu, premi pada asuransi syariah adalah sejumlah dana yang
dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas Dana Tabungan dan Tabarru’. Dana Tabungan adalah dana
titipan dari peserta Asuransi Syariah (Life
Insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh
setiap tahun. Dana Tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada
peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim
nilai tunai maupun manfaat asuransi. Sedangkan Tabarru’ adalah derma atau dana kebajikan yang diberikan dan di
ikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk
membayar klaim atau manfaat asuransi (life maupun general insurance).[11]
Sedangkan Asuransi Kecelakaan Diri (Personal
Accident Insurance) adalah suatu produk yang memberikan perlindungan
keuangan terhadap risiko yang terjadi akibat suatu kecelakaan. Definisi kecelakaan adalah suatu peristiwa yang
terjadi secara tiba-tiba, yang datang di luar si tertanggung, bersifat
kekerasan dan sama sekali tidak ada unsur kesengajaan didalamnya.[12]
3.
Prinsip Asuransi Syariah
Prinsip
dasar asuransi syariah yaitu:
1.
Tauhid (unity)
Prinsip
tauhid (unity) adalah dasar utama
dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah Islam. Dalam berasuransi
yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan kondisi
bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai Ketuhanan.
2.
Keadilan (justice)
Prinsip
kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan (justice) antara pihak-pihak yang terikat
dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam
menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.
3.
Tolong Menolong (Ta’awun)
Kegiatan
berasuransi harus didasari dengan semangat tolong menolong (ta’awun) antara anggota (nasabah).
Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi
untuk mebantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapat
musibah atau kerugian.
dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
4.
Kerjasama (Coorperation)
Kerjasama
dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan
antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara anggota (nasabah) dan
perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai dalam bisnis
asuransi dapat memakai konsep mudharabah
dan musyarakah.
5.
Amanah (trust worthy/al-amanah)
Prinsip amanah dalam organisasi
perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban)
perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Prinsip amanah juga harus berlaku pada
diri nasabah asuransi. Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban
menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran
(premi) dan tidak memanipulasi kerugian (peril)
yang menimpa dirinya.
6.
Kerelaan (Al-ridha)
Dalam
bisnis asuransi, kerelaan (al-ridha)
dapat diterapkan pada setiap anggota (nasabah) asuransi agar mempunyai motivasi
awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan
asuransi, yang difungsikan dana sosial (tabarru’).
7.
Larangan Riba
Dalam
setiap transaksi asuransi, riba dilarang karena riba hanya menghalangi manusia
untuk terlibat dalam usaha aktif. Orang kaya jika ia mendapat penghasilan dari
riba, akan bergantung pada cara yang gampang ini dan membuang pikiran untuk
giat berusaha.
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
131. dan peliharalah dirimu dari api neraka,
yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.
132. dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu
diberi rahmat
8.
Larangan Maisir
(Judi)
Unsur maisir (judi) hanya menguntungkan salah
satu pihak saja di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas
apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
lontraknya sebelum masa reversing period,
biasanya Tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak menerima kembali uang yang
telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang
dipengaruhi oleh pengalaman underwriting,
di mana untung rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
9.
Larangan gharar (ketidakpastian)
Di dalam
asuransi syariah, akad perjanjian harus jelas berupa yang harus dibayar dan
berapa yang harus diterima.[13]
4.
Landasan Operasional
Asuransi Syariah
Secara
struktural, landasan operasional asuransi syariah di Indonesia masih menginduk pada
peraturan yang mengatur usaha perasuransian secara umum (konvensional). Dan
baru ada peraturan yang secara tegas menjelaskan asuransi syariah pada Surat
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang
Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dengan Sistem Syariah.
Sebagai
antisipasi dari tersebut di atas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Dewan
Syariah Nasional (DSN)-nya telah mengeluarkan fatwa bernomor 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Secara umum penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a.
Asuransi Syariah (ta’min, tafakul atau tadhamun)
adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/
pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
b.
Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud poin
(a) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maisir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), riswah
(suap), barang haram dan maksiat.
c.
Akad tijarah
adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
d.
Akad tabarru’
adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong
menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
e.
Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk
memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan
dalam akad.
f.
Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib
diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Mengenai
Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut, sepatutnya mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat bagi lembaga asuransi syariah di Indonesia dalam bentuk sanksi hukum
bagi pelanggannya.
5.
Produk Asuransi Syariah
1.
Asuransi Jiwa Syariah
a.
Produk Saving
Setiap
peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan.
Besar premi yang dibayarkan tergantung kepada keuangan peserta. Akan tetapi,
perusahaan menentukan jumlah minimum premi yang akan dibayarkan. Setiap premi
yang dibayarkan oleh peserta, akan dipisah dalam dua rekening yang berbeda:
a.
Rekening Tabungan peserta, yaitu dana yang
merupakan milik peserta yang dibayarkan berakhir bila:
1.
Perjanjian berakhir
2.
Peserta mengundurkan diri
3.
Peserta meninggal dunia
b.
Rekening Tababrru’,
yaitu kumpulan dana kebajikan yang telah diniatkan oleh peserta sebagai iuran
dana kebajikan untuk tujuan saling menolong dan saling membantu, yang
dibayarkan bila:
1.
Peserta meninggal dunia
2.
Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
b.
Produk Non Saving
Setiap
premi yang akan dibayarkan oleh peserta, akan dimasukan dalam rekening tabarru’ perusahaan. Yaitu, kumpulan
dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran untuk tujuan saling menolong,
dan dibayarkan bila:
1.
Peserta meninggal
2.
Perjanjian berakhir (jika ada surplus dana)
B.
Perbedaan Asuransi konvensional dan Asuransi Syariah
No
|
Prinsip
|
Asuransi Konvensional
|
Asuransi Syari’ah
|
1
|
Konsep
|
Perjanjian antara dua
pihak atau lebih, yang mana pihak penanggung mengikatkan diri pada pihak tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung.
|
Sekumpulan orang yang saling membantu, menjamin dan
bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’
|
2
|
Sumber hukum
|
Bersumber dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, alami, dan contoh
sebelumnya.
|
Al-quran, sunnah atau kebiasaan rasul, ijmak, fatwa
sahabat, qiyas, istihsan, urf dan mashalih mursalah.
|
3
|
“maghrib”
|
Adanya maisir, gharar,
dan riba
|
Bersih dari unsur maghrib
|
4
|
Akad
|
Akad jual beli(akad
muawadhah, akad idz’aan, akad gharar, dan akad mulzim.
|
Akad tabarru’ dan akad
tijarah(mudharabah,wakalah,wadiah,dan syirkah).
|
5
|
Pengelolaan dana
|
Tidak ada pemisah dana,
yang berakibat pada terjadinya dana hangus.
|
Terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru’ dan dana
peserta.
|
6
|
Sumber pembayaran klaim
|
Dari rekening
perusahaan, sebagai konsekuensi penanggung terhadap tertanggung.
|
Dari rekening tabarru’,yaitu peserta saling menanggung.
|
7
|
Misi dan visi
|
Misi ekonomi dan misi
sosial
|
Misi akidah,ekonomi,dan misi pemberdayaan umat.
|
Asursansi syari’ah meskipun termasuk masalah mu’amalah
yang baru, bukanlah praktik yang dilarang, sebab tidak ada dalil nash yang
melarang keberadaannya. Di samping itu segala praktik bisnis yang baru tidak
dilarang dalam islam, selama tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah dan
dikelola dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Secara esensial dapat dikatakan bahwa adanya
prinsip-prinsip hukum asuransi, tidak bertentangan dengan syari’at islam.
Prinsip –prinsip itu ditempatkan sebagai syarat sahnya akad dan termasuk syarat
yang diakui, bukan syarat yang bertentangan dengan akad(mulghah). Justru
keberadaannya memperkuat keberadaan tujuan akad asuransi yang telah terbentuk.
Disisi lain keberadaannya sebagai alat untuk mengelimir praktik-praktik bisnis
yang dilarang dalam islam, seperti judi, gharar, penipuan, riba, dan lain
sebagainya.
[2] Vertikal
Rivai, et.al, Bank and Financial
Institution Management, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 1003
[3]
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan
Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) hal. 152
[4] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum
Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006) hal. 152
[7] Abdul Ghofur Anshori, Asuransri Syari’ah di
Indonesia , (Yogya karta : UII Press Yogyakarta, 2008) hal.14-16
[10] Abdullah
al-Muslih, Bunga Bank Haram? Menyikapi
Fatwa MUI, Menuntaskan Keagamaan Umat, (Jakarta: Darul Haq, 2004) hal. 106
[12] www.pengertian Asuransi Kecelakaan Diri Asuransi Sinar Mas.com, Diakses tanggal
20 juni 2010, jam 12.30 Wib
EmoticonEmoticon