Pengertian Haqiqat dan Majaz (Ushul Fiqh)


1.      PENGERTIAN HAQIQAT dan MAJAS
a)      Hakikat
Menurut tajuddin Al-subki:
هو اللفظ المستعمل فيما وضع له ابتداء
“Lafadz yang digunakan untuk apa lafadz itu ditentukan pada mulanya”
     Menurut Al-Sarkhisi :
كل لفظ هو موضوع في الاصل لشئ معلوم
“setiap lafadz yang ia ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.”
                        Dari definisi diatas haqiqat mengandung pengertian, yaitu : “suatu lafadz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Contoh : pada kata “kursi” yang menurut asalnya digunakan untuk tempat duduk.[1]
b)      Majaz
اللفظ المستعمل في غير موضعه الاصلي
“suatu lafadz yang digunakan untuk menunjuk suatu pengertian yang bukan maknanya yang asli (bukan makna yang pertama; bukan sejak semula).[2]
Contoh ayat yang mengandung makna hakikat dan majaz :
Haqikat :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãèŸ2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3­/u (#qè=yèøù$#ur uŽöyø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ  
77. Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.


Majaz :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.[3]

c)      Cara mengetahui Haqiqat dan Majaz
Adapun cara mengetahui lafadz Haqiqat adalah secara sima’i, yaitu dari pendengaran terhadap apa yang biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa.
Sedangkan cara mengetahui lafadz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang arab dalam penggunaan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik dalam bentuk maupun dalam arti.
Beberapa hal yang dapat dijadikan penunjuk dalam membedakan antara haqiqat dengan majaz, sebagai berikut :
1)      Salah satu diantara kedua lafadz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman dibanding dengan yang lain. Itulah yang haqiqah. Sedangkan yang agak lambat menyentuh pemahaman adalah majaz.
2)      Salah satu diamtara kedua lafazd itu dapat dikembangkan atau ditafsirkan kedalam beberapa lafadz.[4]
2.      PENGERTIAN SHARIH dan KINAYAH
a)      Sharih
Secara etimologi, sharih berasal dari kata sharaha yang berarti perang, arti denotatif atau sebenarnya. Maksudnya menjelaskan apa yang ada dalam hati kepada yang lain dengan redaksi yang seterang mungkin.
Secara terminologi, lafazh sharih adalah
 كل لفظ مكشوف المعنى والمراد حقيقة كان او مجازا
setaip lafazh yang terbuka makna dan maksudnya baik dalam bentuk haqiqah maupun majas.
Maksud yang dikehendaki oleh pembicara dapat diketahui dari lafadz yang digunakan tanpa memerlukan penjelasasn lain. Umpanya pada waktu seseorang ingin menceraikan istrinya, ia berkata kepada istrinya “engkau saya ceraikan”
b)      Kinayah
Secara etimologi. Adalah sesuatu yang untuk menunjukan artiu lain, arti konotatif (kiyasan)
Secara terminologi kinayah adalah
ما يكون المراد باللفظ مستورا الى ان يتبين بالدليل
apa yang dimaksud dengan suatu lafazh yang bersifat tertutup sampai dijeskan oleh dalil,
maksudnya setiap lafazh yang pemahaman artinya melalui lafazh lain dan tidak dari lafazh itu sendiri karena masih memerlukan penjelasan.
            Umpanya seseorang mengatakan kepada istrinya, “Pulanglah kau kerumah ibumu.” Ungkapan ini mengandung beberapa maksud: dapat berarti cerai dan dapat pula berarti pulang sementara.[5]
3.      TAKWIL
a)      Pengertian takwil
Ta’wil menurut pandangan kebanyakan ulama kontemporer (khalaf) yang didukung kalangan fuqaha (ahli-ahli hukum Islam), mutakallimin (para teolog), ahli-ahli Hadits (muhadditsin) dan kelompok sufistik (mutashawwifah) ialah :
صرف اللفظ عن المعنى الراجح الى المعنى المرجوح لدليل يقترن به
“mengalihkan lafadz dari makna (pengertiannya) yang kuat (rajih) kepada makna lain yang dikuatkan/dianggap kuat (marjuh) karena ada dalil lain yang mendukung”.
Sebagai contoh kata yadun (يد ) dalam firman Allah :
..........يد الله فوق ايديهم...............
... Tangan (kekuasaan Allah diatas tangan (kekuasaan) mereka....” (Q.S. Al fath / 48:10)
            Kata yadun () arti yang kuat (rajih) adalah tangan. Sedangkan ma’nna yang dikuatkan (marjuh) nya adalah kekuasaan. Ketika memahami ayat ini, umumnya mufassir menggunakan ta’wil. Yakni mengalihkan makna rajih (tangan) kepada makna marjuh (kekuasaan) karena ada alasan (dalil) yaitu ketidakmungkinan Allah memiliki tangan dalam arti indrawi.[6]
b)      Syarat-syarat Ta’wil
1)      Lafadz itu menerima ta’wil seperti lafadz dhahir dan lafadz nash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2)      Lafadz itu mengandung kemungkinan untuk di ta’wilkan karena lafadz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di ta’wil serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3)      Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti ;
a.       Bentuk lahir lafadz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dloruri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu
b.      Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah nya.
c.       Lafadz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafadz lain yang mufassar.
4)      Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang ada.
c)      Bentuk-bentuk Ta’wil
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil. Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
1.      Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu:
o   Ta’wil maqbul atau yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan diatas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama.
o   Ta’wil ghair al-maqbul  atau ta’wil yang ditolak,yaitu ta’wil yang didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat byang ditentukan.
2.      Dan dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafadz yang di ta’wil dari makna zhahirnya, ta’wil dibagi kepada dua bentuk:
o   Ta’wil qarib ,yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksutnya.
o   Ta’wil ba’id ,yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafadz yang begitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
d)     Macam- macam Ta’wil
Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wil :
1.                   Ta’wil Al-qur;an atau hadits nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya. Contoh: Umpamanya men-ta’wil-kan “tangan Allah” dengan “kekuasaan Allah” seperti dalam surat Al-Fath (48) : 10:
يد الله فوق ايديهم
Tangan Allah berada diatas tangan mereka.
Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti diatas termasuk dalam lingkup “tafsir” yang dituntut dalam usaha mensucikan Allah dari anggapan penyamaan dengan makhluk-Nya. Bentuk seperti itu oleh ulama ini disebut “tafsir” dengan majaz yang masyhur.
2.                   Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkrompomikan antara hukum-hukum dalam ayat Al-qur’an atau hadits nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan.Contohnya menta;wilkan surat Al-baqarah (2): 240, yang bertentangan dengan surat Al-baqarah (2): 234
Ta’wil itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir ayat, namun sewaktu waktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Kadang- kadang tidak dibenarkan menggunakan ta’wil, atau ta’wil itu dianggap salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk ta’wil, atau ada dorongan untuk men-ta’wil, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan,atau ta’wil itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i.[7]










1.      Penutup

Setiap lafadz mengandung arti dan maksud tertentu yang dapat dipahami seseorang ketika ia mendengar lafazd itu diucapkan atau ketika ia membaca lafadz itu dalam tulisan. Lafadz dari segi penggunaannya digolongkan kepada haqiqat dan majaz. Sedangkan dari segi kejelasan untuk menyampaikan suatu maksud, lafadz itu dikelompokkan pada sharih  dan kinayah. Selain itu, dari segi kejelasan arti suatu lafadz yang digunakan, seperti telah disinggung diatas, kadang digunakan ta’wil.




[1]    Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, ( Pekalongan: STAIN pekalongan Perss2006) hal. 232-233
[2]    Abdurahman Dahlan, ushul fiqh, ( jakarta: Amzah 2010 ) hal. 298
[3]    Abdurahman dahlan, ibid..hal. 299
[4]   Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta : kencana, 2009) hal.31-33
[5]    Amir Syarifudin, Ibid..hal.37-38
[6]   Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulum Al- Qur’an, (Al Ghotasi Putra, 2011) hal. 114-115
[7]    Amir Syarifudin, Ibid., hal. 40-47

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »