1.
Pengertian
Operasi
ganti kelamin (transeksual) adalah usaha seorang dokter ahli bedah plastik dan
kosmetik untuk mengganti kelamin seorang laki-laki menjadi kelamin perempuan
atau sebaliknya melalui proses operasi.[1]
Pengubahan
jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan dilakukan dengan memotong penis dan
testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina) dan membesarkan payudara.
Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki dilakukan dengan
memotong payudara, menutup saluran kelamin perempuan, dan menanamkan organ
genital laki-laki (penis). Operasi ini juga disertai pula dengan terapi
psikologis dan terapi hormonal.
2.
Hukum
a.
Diharamkan
Manusia yang kahir dalam keadaan normal jenis kelaminnya
sebagai pria atau wanita karena
mempunyai alat kelamin satu berupa dzakar (penis) atau farj
(vagina) yang normal karena sesuai organ kelamin dalam, tidak diperkenankan
oleh hukum islam melakukan operasi ganti kelamin.
Dalil-dalil syari’ yang mengharamkan operasi ganti kelamin bagi orang
yang lahir normal dan sempurna jenis kelaminnya antara lain sebagai berikut:[2]
1)
QS.
Al-Hujarat: 13
Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.[3]
Ayat ini mengajarkan prinsip equality before God and law, artinya
manusia dihadapan Tuhan dan hukum itu sama kedudukannya apapun jenis
kelaminnya. Oleh karena itu jenis kelamin normal harus disyukuri dengan jalan
menerima kodratnya dan menjalankan semua kewajiban sebagai makhluk terhadap
Khalik tanpa mengubah jenis kelamin.
2)
QS.
An-Nisa: 119
Dan aku
benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong
pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak),
lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya. Barangsiapa yang menjadikan
syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian
yang nyata.[4]
Di dalam Tafsir al-Thabari disebutkan beberapa perbuatan
manusia yang diharamkan karena termasuk merubah ciptaan Tuhan, seperti
mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut, pangur, membuat
tato, mencukur bulu muka (alis), dan takhannust (pria yang berpakaian
dan bertingkah laku seperti wanita atau sebaliknya.
3)
Hadits
Nabi riwayat Bukhari dan enam ahli hadits lainnya dari Ibnu Mas’ud:
لعن الله المتشبها ت من النساء با الر جال والمتشبهين من الرجال
باالنساء
Allah mengutuk
pria-pria yang menyerupai wanita-wanita dan wanita-wanita yang menyerupai pria.
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang pria atau wanita dengan jenis
kelamin normal dilarang oleh Islam mengubah jenis kelaminnya, karena mengubah
ciptaan Allah Swt tanpa alasan yang hak yang dibenarkan.
Demikian pula seorang laki-laki atau wanita yang mempunyai jenis kelamin
normal tapi berpakaian dan bertingkah laku yang berlawanan dengan jenis kelamin
sebenarnya, maka islam juga mengharamkannya, sebab pada hakikatnya organ
kelaminnya normal tapi psikisnya yang tidak normal. Karena itu upaya kesehatan
mentalnya ditempuh melalui pendekatan keagamaan dan kejiwaan.[5]
Kemudian orang-orang yang memberikan fasilitas dan dukungan
morilnya, termasuk kedua orang tuanya yang memberikan izin penggantian kelamin
dan dokter yang melakukan operasi turut menanggung dosanya. Jadi jelaslah,
bahwa semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dala upaya
penggantian kelamin mendapatkan dosa yang sama besarnya dengan dosa yang
diperbuat oleh orang tersebut.[6]
b.
Diperbolehkan
Operasi
ganti kelamin diperbolehkan kepada orang yang lahir dalam keadaan yang tidak
normal jenis kelaminnnya, namun itupun tergantung kepada keadaan organ kelamin
luar dan dalam yang dikelompokkan sebagai berikut:
1)
Apabila
seseorang mempunyai organ kelamin dua atau ganda tidak dua penis dan vagina,
maka untuk memperjelas identitas jenis kelaminya, ia boleh melakukan operasi
mematikan organ kelamin yang satu dan menghidupkan organ kelamin yang lain
sesuai dengan organ kelamin bagian dalam. Misalnya seseorang mempunyai dua alat
kelamin yang berlawanan, yakni penis dan vagina, dan disamping itu ia juga
mempunyai rahim dan ovarium yang merupakan ciri khas dan utama untuk jenis
kelamin wanita, maka ia boleh bahkan disarankan operasi mengangkat penisnya
demi mempertegas identitas jenis kelamin kewanitaannya. Dan sebaliknya, ia
tidak boleh mengangkat vaginanya dan membiarkan penisnya, karena berlawanan
dengan organ kelaminya yang bagian dalam yang lebih vital, yakni rahim dan
ovarium.
2)
Apabila
sesorang mempunyai organ kemin satu yang kurang sempurna bentuknya, misalnya ia
mempunyai vagina yang tidak berlubang dan ia mempunyai rahim dan ovarium, maka
ia boleh bahkan dianjurkan oleh agama untuk operasi memberi lubang pada
vaginya. Demikian pula sesorang punya penis dan testis tetapi lubang penisnya
tidak berada di ujung penisnya, tetapi di bagian bawah penisnya, maka ia pun
boleh operasi untuk dibuatkan lubangnya
yang normal.[7]
Adapun
dalil-dalil syar’i yang bisa membenarkan operasi yang bersifat memperbaiki atau
menyemprnakan organ kelamin antara lain sebagai berikut :
·
لجلب المصلحتة ود فع المفسدة
Untuk mengusahakan kemaslahatan dan menghilangkan
kemudhorotan. Orang yang lahir tidak normal jenis kelaminnya terutama yang banci
alami bisa mudah mengalami kelainan psikis dan sosial, akibat masyarakat yang
tidak memperlakukannya secara wajar. Yang pada gilirannya bisa menjerumuskan ia
ke dalam duniaa pelaacuran dan menjadi sasaran kaum homo. Karena itu, apabila
kemajuan teknologi kedokteran bisa memperbaiki kondisi kesehatan fisik dan
psikis/mental si banci alami melalui operasi kelamin maka Islam membolehkan
bahkan menganjurkan/memandang baik, karena maslahahnya lebih besar
daripada mafsadatnya, apalagi jika kebancian alami dikategorikaan
sebagai penyakit yang menurut pandangan Islam wajib berikhtiar diobati.
·
Adapun
Hadits Nabi yang melarang orang mengubah ciptaan Allah sebagaimana diriwayatkan
Bukhari dan lain-lain dari Ibnu Mas’ud di atas, apabila tidak membawa maslahah
yang besar bahkan membawa mafssadat/risiko. Pengebirian seorang pria
dengan mengangkat testisnya yang bisa mmenyebabkaan kemandulan tetap. Tetapi
apabila mengubah ciptaan Allah itu membawa maslahah yang besar dan
menghindari mafsadat Islam membenarkan. Misalnya khitan anak pria dengan
jalan menghilangkan kulup.
Baca Juga : Kematangan Beragama
Baca Juga : Kematangan Beragama
3. Status Hukum Setelah Operasi
Apabila sifat dan tujuan operasi kelaminnya itu tabdil/taghyiril
khilqah artinya mengubah ciptaan
Allah, maka status jenis kelaminya tetap tidak berubah sehingga kedudukannya
sebagai ahli waris misalnya, ia tetap berstatus dengan jenis kelaminya yang
asli yang normal pada waktu lahirnya.
Tetapi apabila sifat dan tujuan operasi kelamin itu hanya untuktashih/takmil
artinya memperbaiki atau menyempurnakan jenis kelaminya saja maka operasi
kelamin semacam ini selain dibenarkan oleh Islam juga berakibat merubah status
jenis kelamin dari waria menjadi wanita atau pria yang penuh identitasnya,
sesuai dengan kenyataan organ kelamin bagian luar dan dalam yang dimiliki
setelah operasi.
Sebagai konsekuensi diizinkan seorang waria atau banci alami
menjalani operasi perbaikan jenis kelaminnya, maka ia boleh melakukan
perkawinan dengan pasangan yang berbeda jenis kelaminnya, dan ia berhak
mendapat bagian warisan sesuai dengan jenis kelaminnya setelah operasi.[8]
B.
OPERASI SELAPUT DARA
1.
Pengertian
Keperawanan adalah selaput tipis yang ada di wilayah
vagina (kemaluan wanita), yang
dalam istilah kedokterannya disebut dengan hymen (Inggris).[9]
Perawan adalah wanita yang belum pecah selaput daranya dan belum
pernah disentuh laki-laki. Seandainya laki-laki disebut perjaka jika ia belum
pernah menggauli wanita.
Operasi
selaput dara atau pengembalian keperawanan adalah memperbaiki dan mengembalikannya
pada tempat semula sebelum sobek atau pada tempat yang dekat dengannya, dan hal
itu adalah pekerjaan para dokter spesialis.
2.
Sisi
Positif Dan Negatif
Setiap perbuatan hukum, mesti berhubungan
dengan manfaat dan madlarat,
a)
Beberapa manfaat operasi selaput dara
yaitu:
1)
Untuk menutupi aib
Pekerjaan
yang dilakukan oleh dokter ini, membawa unsur kemaslahatan, yaitu untuk
menutupi aib seorang gadis, apapun sebab hilangnya keperawanan itu, sehingga aib
tersebut bisa disembunyikan. Karena jika tidak akan tejadi bencana pada
dirinya.
2)
Melindungi keluarga
Disamping manfaat untuk menutupi aib, ada kepentingan lain yaitu melindungi sebagian keluarga –yang akan
dibentuk kemudian hari–dari hal-hal yang menyebabkan kehancuran.
3)
Pencegahan dari prasangka buruk
Pekerjaan
tersebut membantu untuk menyebarkan prasangka baik dalam masyarakat, dan
menutup pintu dimana jika ia dibiarkan terbuka akanada kemungkinan masuk darinya
prasangka buruk ke dalam hati dan hal tersebut kadang menyebabkan kedzaliman
atas gadis-gadis yang tidak bersalah.
4)
Mewujudkan keadilan antara pria dan wanita
Seorang
lelaki, dengan kekejian dan perbuatan tercela apapun
yang ia lakukan tidak akan menimbulkan pengaruh fisik pada tubuhnya, dan tidak
ada kecurigaan apapun yang ada disekitarnya, jika perbuatan tersebut tidak
dapat dibuktikan melalui perangkat hokum syariata, sementara itu seorang gadis
akan disalahkan secara social dan adat atas hilangnya kegadisannya, meskipun
tidak ada satu bukti yang diakui oleh syariat sekalipun atas perbuatan kejinya.
5)
Mendidik masyarakat
Penjelasan
tentang pengaruh yang mendidik masyarakat secara umum adalah bahwa sebuah
kemaksiatan jika ditutupi, bahanya akan terbatas diwilayah yang sempit sekali
tetapi apabila hal tersebut tersebar dalam masyarakat maka pengaruh buruknya
akan bertambah dan akan berkuranglah rasa segan orang untuk melakukanya sampai
melemahkan perasaan social dikarenakan pengaruh buruknya dan jika telah sampai
kebatas ini maka melakukan kemaksiatan tersebut akan menjadi hal yang sepele.
b)
Adapun madlarat operasi selaput daara
yaitu:
1)
Penipuan
Dibalik
pengembalian keperawanan yang dilakukan dokter itu ada unsur penipuan terhadap
siapa yang akan menikahi gadis tersebut nantinya, karena suatu tanda yang bisa menjadi
bukti atas kelakuan buruk yang pernah dilakukan oleh si gadis itu telah
tertutupi.
2)
Mendorong perbuatan keji
Pengembalian
keperawanan kemungkinan akan mendorong berkembangnya perbuatan keji dalam
masyarakat karena dengan itu rasa segan dan rasa tanggung jawab pada diri
seorang gadis akan hilang dimana biasanya rasa seperti itu bisa mencegahnya
dari perbuatan keji tersebut namun jika dia tahu bahwa dia bias melepaskan diri
dari bekas perbuatannya dengan memperbaiki apa yang telah rusak karena
disebabkan oleh perbuatan tersebut, maka akan berkuranglah rasa takut akan
akibatnya dimasa mendatang dan itu mendorongnya untuk melakukan kemaksiatan.
3)
Membuka aurat
Membuka
aurat, khususnya auarat yang palin vital tidak di halalkan kecuali terpaksa
atau sangat dibutuhkan, sedangkan ilmu kedokteran tidak menemukan manfaat
keperawanan untuk kesehatan, maka alasan yang menghalalkan tindakan tersebut
tidak ada, kecuali jika terjadi luka akibat dari seobeknya keperwanan.
3.
Hukum
Dari
apa yang telah disebutkan, baik tentang kemaslahatan maupun mudharat yang
terwujud dari operasi pengembalian keperawanan di atas, jelaslah bahwa:
a)
Jika
sobeknya selaput dara itu disebabkan oleh kecelaakaan atau perbuatan yang tidak
maksiat secara syariat dan bukan hubungan seksual dalam pernikahan, maka dapat
dilihat sebagai berikut,
Jika
diyakini bahwa si gadis akan menerima kedzaliman karena adat istiadat yang ada
maka operasi tersebut wajib dilakukan, karen hal itu untuk menghilangkan
mudharat yang kemungkinan besar akan terjadi. Sebab kemudharatan yang
diperkirakan pasti akan terjadi menurut kebiasaan, maka dihukumi dengan hukum
yang pasti, dan jika suatu kenudharatan sering terjadi walaupun pada masa yang
akan datang, maka hal itu dihukumi seperti telah terjadi.
Namun
jika diperkirakan kemudharatan itu kecil kemungkinannya untuk terjadi, maka
perbaikan selaput dara itu disunnahkan, tapi tidak wajib. Karena tindakan itu
hanya menghilangkan mudharat yang mungkin akan terjadi. Adapun yang dijadikan
sebagai batasan urgen tidaknya operasi itu adalah tabiat dan adat istiadat
masyarakat di mana si gadis hidup di dalamnya.
b)
Jika
penyebabnya adalah hubungan seksual dalam pernikahan, maka operasi pengembalian
keperawanan tersebut diharamkan atas janda atau wanita yang dicerai. Karena
tidak ada kepentingan di dalamnya. Terlebih lagi diharamkan untuk yang sudah
menikah karena hal itu sama saja dengan main-main. Dan dokter tidak dibolehkan
untuk melihataurat wanita kecuali dalam keadaan darurat
c)
Jika
penyebaabnya adalah zina yang diketahui masyarakat, baik yang diketahui melaaui
keputusan pengadilan bahwa si gadis berzina, maupun karen perbuatan zina
tersebut dilakukan berulang-ulang, atau karena pernyataan si gadis atas perbuatannya
dan dia terkenal sebagai pelacur, maka pengembalian selaput dara dalam hal ini
juga diharamkan. Karena operasi ini tidak ada kemaslaahatannya sama sekali dan
tidak lepas dari mudharatnya.
d)
Jika
penyebabnya adalah zina yang tidak diketahui oleh masyarakat dalam artian yang
sudah dijelaskan, dokter bisa memilih untuk melakukan operasi atau tidak. Dan
melakukannya lebih baik jika memungkinkan karenaperbuaatannya ini termasuk
menutup aib, dan menutup aib orang yang berbuat maksiat mempunyai beberapa
hukum.
Menutup
aib orang yang berbuat maksiat haram hukumnya jika mengakibatkan hilangnya hak-hak
manusia. Namun operasi pengembalian keperawanan itu tidak berarti menghilangkan
hak oang seperti yang sudah dijelaskan.
Menutup
aib orang yang berbuat maksiat wajib hukumnya jika secara nyata mengakibatkan
terjadinya mudharat atau kerusakan, seperti seseorang yang melihat kejadian
zina sendirian. Jika dia menyampaikannya namun si tertuduh tidak mengakuinya
maka ia dianggap melakukan qadzaf (tuduhan zina). Dalam hal ini jika
dokter tidak melakukan operasi pengembalian keperawananya, tidak akan
menjerumuskannya ke dalam hukum qadzaf.
Menutup
aib hukumnya sunnah jika yang telah melakukan maksiat telah bertaubat dan tidak
mengulangi perbuatannya dan menjadi makruh jika dia melakukan maksiat terus
menerus dan tidak bertaubat.
Jika
tidak diketahui apakah pelaku maksiat itu bertaubat atau tidak maka menutup
aibnya adalah boleh, kecuali jika kita memikul tnggungjawab untuk memperbaiki
masyarakat Islam. Namun jika pelaku maksiat itu tidak terus-menerus melakukan
kefasikan, maka disunnahkan untuk ditutupi aibnya.
Jika
seorang dokter diminta oleh seorang gadis untuk memperbaiki selaput daranya,
maka hukumnya berbeda-beda sesuai dengan sebab-sebab kesobekannya yaitu dengan menanyakannya
kepada si gadis. Atas dasar itu, maka hukum pengembalian selaput dara yang
tidak diketahui penyebabnya oleh dokter, harus dikembalikan kepada hukum yang
bukan karena maksiat, melainkan karena kecelakaan jatuh dan sebagainya.[10]
PENUTUP
Dari
pemaparan makalah di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa:
A.
Dalam
hal operasi ganti kelamin, maka
1.
Mengubah
jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya bagi orang yang
mempunyai jenis kelamin normal adalah haram. Maka dokter tidak boleh membantu
operasi ini
2.
Seorang
yang mempunyai jenis kelamin tidak normal seperti waria yang memiliki alat
kelamin ganda atau orang yang kurang sempurna alat kelaminnya misalnya vagina
yang tidak berlubang adalah boleh. Maka dokter boleh membantu operasi ini
B. Dalam hal operasi selaput
dara, maka
1.
Jika
penyebab rusaknya selaput dara karena kecelakaan atau bukan perbuatan maksiat
adalah boleh
2.
Jika
penyebab rusaknya selaput dara karena perbuatan maksiat maka dibedakan menjadi dua:
·
Perbuatan
zina yang telah diketahui masyarakat seperti
pelacur adalah haram
·
Perbuatan
zina yang dilakukan oleh gadis sekali dan ia bertaubat adalah boleh
3.
Jika
penyebab rusaknya selaput dara karena hubungan pernikahan adalah haram
[1] Mahjuddin, Masail
Al-Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), hlm. 29
[2] Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1987), hlm. 170
[3]Al-Qur’anul
Karim
[4] Al-Qur’anul
Karim
[5]Masjfuk Zuhdi, Op.Cit.,
hlm.171-172
[6] Mahjuddin, Op.Cit.,
hlm. 33
[7]Kutbuddin
Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 138-139
[8] Kutbuddin
Aibak. Op. Cit., hlm. 140-143
[9] Muhammad
Yusuf, Kematian Medis, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 125
[10] Muhammad
Nu’aim, Fikih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm.
277-312
1 komentar:
Write komentarEmoticonEmoticon