Kematangan Beragama


Sejarah persentuhan agama dengan psikologi mengalami pasang surut. Bentuk persentuhan itu sangat dipengaruhi oleh model dan metodelogi serta pergeseran paradigm yang dipergunakan psikologi. Pergeseran itu telah mewarnai pandangan psikologi tentang perilaku beragama. Pada periode awal pola persentuhan itu mengambil bentuk hubungan diman teori psikologi digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah prilaku beragama. Menjelang awal abad ke 21 ini pola hubungan itu mengambil bentuk lain, dimana teori psikologi dilahirkan dari pemahaman terhadap prilaku beragama.
kematangan beragama


Kematangan beragama sendiri dapat dipandang sebagai keberagaman yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegangan teguh pada ajaran agama. Makalah ini berupaya untuk menjelaskan lebih mendalam mengenai kematanag beragama yang terjadi pada jiwa manusia, yang disertai factor-faktor pendukung maupun penghambatnya.

Baca Juga : Menjadi Muslim Yang Cerdas 


A.    Kematangan Beragama
Menurut James Wiliams agama adalah perasaan dan pengalaman dari insan secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandang sebagai tuhan[1].
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan(maturity)[2].
Kematangan beragama sendiri dapat dipandang sebagai keberagaman yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegangan teguh pada ajaran agama[3]
      Keterlambatan pencapaian rohani menurut ahli psikologi pendidikan sebagai keterlambatan dalam prekembangan kepribadian. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 1) factor yang terdapat pada diri anak dan 2) factor yang berasal dari lingkungan. Sejak dahulu memang sudah disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam dan dari luar atau lingkungan. Adapun yang termasuk faktor dalam atau pembawaan, ialah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifak kejiwaan maupun yang bersifat ketubuhan. Yang termasuk factor lingkungan ialah segala sesuatu yang ada diluar manusia, baik yang hidup maupun yang mati[4].
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletk pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan cirri kematangan beragama[5]. Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagaman yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegangan teguh pada ajaran agama[6].

B.     Ciri-Ciri dan Sikap Keberagamaan
Berdasarkan temuan psikologi agama, latar belakang psikologi, baik diperoleh berdasarkan factor intern maupun hasil pengaruh lingkungan member cirri pada pola tingkah laku dan sikap seseorang terhadap agama. Williams James melihat adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya itu. Secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokan menjadi dua tipe, yaitu: 1) tipe orang yang sakit jiwa dan 2) tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe ini menunjukan perilaku dan sikap keagamaan yang berbeda.
1.      Tipe orang yang sakit jiwa (The sick Soul)
Menurut awilliam James, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang penah mengalami latar belakang kehiduapan keagamaan yang terganggu. Mereka ini menyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
William Starbuck, seperti yang dukemukakan oleh William James berpendapat, bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah:
1)      Tempramen
Temperamen merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan kejiwaan seseorang
2)      Gangguan jiwa
Orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukan kelainan dalam sikap dan tingkahlakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampilkannya tergantung dari gejala ganguan jiwa yang mereka idap.
3)      Konfil dan Keraguan
Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Keyakinan agama yang dianut berdasarkan pemilihan yang matang sesudah terjadinya konflik kejiwaan akan lebih dihargai dan dimuliakan. Kinflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama.
4)      Jauh dari Tuhan
Jauh dekatnya kepada tuhan tergantung kepada pikiran dari seseorang. Pikiran merupakan suatu fakultas yang tidak bisa diraba, aktifitas yang tidak tampak. Semua pikiran bagai daun-daun yang berbeda dari satu pohon. Sebagian pikiran merupakan cabang dan sebagian lain merupakan ranting dari pohon itu. Tetapi hanya ada satu sumber yang kesana semua pikiran terhubung. Tidak satu objek atau kehidupanpun yang dapat eksis tanpa memiliki satu titik pusat sebagai tempat bertemu dan bergabungnya segala sesuatu, dan tempat pertemuan itu adalah pikiran ketuhanan[7].
Orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, serta berupaya mengabdikan diri secara sungguh-sungguh. Hal ini menyebabkan terjadi semacam perubahan silap keagamaan pada dirinya.
   Faktor ekstern yang diperkirakan turut mempengaruhi sikap keagamaan adalah:
1)      Musibah
Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang.
2)      Kejahatan
Mereka yang menekuni kehidupan dilingkungan dunia hitam pada umumnya akan mengalami keguncangan batin dan rasa berdosa.

2.      Tipe Orang Yang Sehat Jiwa
·         Optimis dan gembira
·         Ekstrovet dan Tak Mendalam
·         Menyanangi Ajaran Ketauhidan yang Liberal[8]

C.    Ciri-Ciri Sikap Keagamaan Seseorang
Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambarang mengenai bagaimana sikap dan tingkahlaku keagamaan pada orang dewasa. Menurut Jalaludin, gambaran dan cerminan dari tingkahlaku keagamaan orang dewasa dapat pula dilihat dari sikap keagamaannya yang memiliki cirri antara lain:
1)      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan saja.
2)      Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3)      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha mempelajari dan pemahaman agama
4)      Tingkat ketaatan beragama, didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap itu
5)      Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas
6)      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama
7)      Sikap keberagamaan cendrung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing.
8)      Terlihat hubungan antara keberagamaan dengan kehidupan social[9].

D.    Mistisisme dan Psikologi Agama
Mistisisme merupakann salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Misistisme dijumpai dalam semua agama baik agama teistic maupun dikalangan mistik non teistik[10]. Menurut Prof.Harunasution dalam tulisan barat, misitisme yang dalam islam adalah tasawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam[11]. Tasawuf  atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Cirri khas misistisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari abash tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing dengan demikian mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kehiwaan tertentu yang terdapat tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut[12].

PENUTUP
            Berdasarkan pembahasan pada uraian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan tentang criteria orang yang matang beragama, dalam hal ini akan terjawab masalah tersebut dengan terlebih dahulu memahami, pengertian matanag beragama, faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia, cirri-ciri dan sikap keberagamaan, mistisme dan agama.
            Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkahlaku keagamaan yang mencerminkanketaatan terhadap agamanya. Secara normal memang seseorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematanagan berfikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar, secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ternyata ia belum matang.

DAFTAR PUSTAKA
Daradjat,Zakiah. 1996. ilmu jiwa agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Jalaludin. 2002. Psikologi Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harunn. 1973. Filsafat Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Ramayulis. 2002.  Psikologi Agama. Jakarta: Kalamulia.
Khat, Inayat. 2000. Dimensi Spiritual Psikologi. Bandung: Pustaka Hidayah





     




[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama(Jakarta: Bulan Bintang,1996) hal. 18
[2] Jalaludin, Psikologi Agama(Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,2010) hal. 123
[4] Agus Sujanto,dkk,Psikologi Kepribadian (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004) hal. 5
[5] Jalaludin,op.cit. hal. 125
[7] Inayat Khat,Dimensi Spiritual Psikologi (Bandung: Pustaka Hidayah,2000) hal.28
[8] Jalaludin,op.cit. hal. 132
[9] Ramayulis, Psikologi Agama(Jakarta: Radar Jaya,2007) hal 65-67
[10] Jalaludin,op.cit. hal. 133
[11] Harunnasution,Filsafat Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1973) hal. 56
[12] Jalaludin,op.cit. hal. 134

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »