Pengertian Muzara'ah


Apabila kita perhatikan kehidupan masyarakat indonesia yang agraris, praktik pemberian imbalan atas jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan. Hal ini dilakukan oleh para petani yang tidak memiliki tanah atau sawah untuk digarap. Dan seseorang yang memiliki tanah atau sawah namun tidak mempunyai keahlian dalam bertani atau tidak mampu untuk menggarapnya senidri.
            Hal semacam ini dikenal dengan istilah muzara’ah atau juga dapat disebut dengan mukhabarah. Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap dengan benih atau bibit berasal dari pemilik tanah. Sedangkan mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap dengan benih atau bibit dari penggarap.
            Hukum dari muzara’ah dan mukhabarah ini ada sebagian ulama fiqih yang mengatakan mubah atau boleh. Namun ada pula yang berpendapat haram.

A.Pengertian Muzara’ah
            Secara etimologi muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan oleh ulama fiqih, yaitu :
-          Menurut ulama malikiyah, mendefinisikan bahwa muzara’ah adalah perserikatan dalam pertanian.[1]
-          Menurut ulama hanabilah, mendefinisikan bahwa muzara’ah adalah penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi dua. [2]
-          Menurut Imam Syafi’I muzara’ah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya di tanggung oleh pemilik tanah.[3]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih atau bibit tanaman berasal dari pemilik tanah.[4]
B. Dasar Hukum Muzara’ah
            Mengenai hukum dari pelaksanaan muzara’ah sendiri, ada perbedaan dari ulama fiqih. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
·  Dari ulama fiqih yang membolehkan atau berhukum mubah. Dasar kebolehan itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadist Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat Al-Bukhari mengatakan[5] :
            “ Bahwasanya Rasulallah saw mempekerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).
-                      “Sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu”. (Bukhari dan Muslim dari Abbu Abbas RA).
  • Dari ulama fiqih yang melarang atau berhukum haram, dasar keharaman itu ialah terletak pada beberapa hadist berikut [6]:
            “Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian. (H.R.Bukhari).
            Menurut Al-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah ia beralasan dengan hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit Ibn al-Dhahak
“Bahwa Rasulullah Saw, telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa menyewa dan Rasulullah Saw bersabda itu tidak mengapa.”

C.    Rukun-rukun dan Syarat-syarat Muzara’ah
Rukun muzara’ah menurut Hanafiah ialah :
  1. Pemilik tanah.
  2. Petani / penggarap tanah.
  3. Akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja.
  4. Tanah, antara manfaat tanah dan hasil kerja.
  5. Modal dan alat-alat untuk menanam.
            Syarat- syarat Muzara’ah yaitu :
  1. Menyangkut orang yang berakad : baligh dan berakal.
  2. Menyangkut benih yang akan ditanam : penentuan tanaman yang akan ditanam, sehingga jelas dan akan menghasilkan.
  3. Menyangkut tanah pertanian :
a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.
b.      Batas-batas tanah itu jelas.
c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
  1. Menyangkut dengan hasil panen :
a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan : setengah, sepertiga atau seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari.
  1. Menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.
D.    Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah
            Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai,yaitu:
1)  Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
2)  Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah memandangnya tidak batal.

3)  Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.
E.     Hikmah Muzara’ah
            Seseorang dengan orang lain dapat saling membantu dengan bekerja sama yang saling meringankan dan menguntungkan, contohnya; seseorang memiliki binatang ternak ( sapi, kerbau dll) dia sanggup untuk berladang dan bertani akan tetapi dia tidak memiliki sawah. Sebaliknya ada seseorang yang memiliki tanah yang dapat digunakan sebagai sawah, ladang akan tetapi tidak memiliki hewan yang dapat digunakan untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut. Disini manfaat dari muzara’ah  adalah dapat memanfaatkan sesuatu yang tidak dimiliki orang lain sehingga tanah dan binatang dapat digunakan dan dapat menghasilkan pemasukan yang dapat membiayai kebutuhan sehari-hari. Yang mana pembagian hasilnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.[7]
            Sudah selayaknya sesama muslim itu saling tolong menolong, itupula yang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya nabi Muhammad saw. Melalui muzara’ah inilah ajaran tersebut juga dapat dilaksanakan.

            Muzara’ah atau dapat diartikan sebagai kerjasama dalam pertanian. Sebenarnya menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak yaitu pemilik tanah dan penggarap. Bagi pemilik tanah, dengan adanya petani yang menggarap tanahnya, maka tanah yang ia punyai itu dapat bermanfaat dan dapat diambil hasilnya. Sedangkan bagi penggarap tanah, ia menjadi memiliki pekerjaan dan mendapatkan hasil pula dari kerjasama itu.
            Meskipun dilihat dari segi hukumnya sendiri muzara’ah itu ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. Namun, kita sebagai umat muslim sebaiknya melihat dari segi manfaatnya dan tujuan dari bermuzara’ah itu sendiri. Seperti muzara’ah itu dapat membantu satu sama lain atau tolong menolong. Dan membuat seseorang tidak memubadzirkan sesuatu, yaitu berupa tanah yang dapat digarap dan menghasilkan manfaat bagi orang lain.



[1] Abdul Rahman Ghazaly,Fiqh Muamalat, Jakarta : Prenada Media Group.2010. hal. 301
[2] ibid
[3] ibid
[4] Ibid. Hal 302
[5] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.2006,hal.214
[6] Moch.Anwar, Fiqih Islam, Bandung : PT. Al-Ma’arif. 1971. Hal 78
[7]  Chairuman pasarib. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta : Sinar Grafika.1996. hal 130

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »