Pengertian Mudharabah
Menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al
qath’u (potongan),berjalan atau berpergian.
Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua
pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada
pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah di
tentukan[1].
1.
Dasar Hukum Mudharabah
Dasar hukum mudharabah ialah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a,bahwasanya Rosulullah saw,bersabda
ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَةُ البَيْعُ اِلىَ
أَجَلٍ وَالمقَارَضَةَ وَخَلَطُ البُرِّ باِالشَّعِيْرِ لِلْبَيتِ وَلاَ لِلبَيْعِ
“Ada tiga perkara yang diberkahi: jual beli yang
ditangguhkan member modal, dan mencampur gandum dengan jalan untuk keluarga,
bukan untuk dijual[2].
“Qiradl atau Mudharabah” yaitu seseorang memberikan
modal kepada seseorang untuk diperniagakan dan laba dinikmati bersama,
diperbolehkan . hukum ini disepakati para mustahidin[3].
2. Rukun dan Syarat
Mudharabah
Menurut Ulama syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada 6, yaitu :
1.
Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2.
Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang
diterima dari pemilik barang.
3.
Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan
pengelola barang.
4.
Mal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga
menghasilkan laba.
5.
keuntungan[4].
Syarat-syarat Mudharabah
Mudharabah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1.
Modal harus tunai, apabila berbentuk emas atau perak
batangan, maka tidak sah.
2.
Modal diketahui denga jelas.
3.
Pembagian keuntungan mudharabah harus jelas
presentasinya untuk pihak pekerja dan pemilik modal, seperti setengah,sepertiga
atau seperempat.
4.
Mudharabah harus bersifat mutlak. Pihak pemilik modal
tidak boleh membatasi pihak pekerja untuk berdagang di negeri tertentu, barang
tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, atau ketentuan lain[5].
3.
Kedudukan Mudharabah
Hukum Mudharabah berbeda-beda karena adanya
perbedaan-perbedaan keadaan. Maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam
mudharabah (qiradh) juga tergantung pada keadaan.
Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal
tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakil pemilik
barang tersebut dalam pengelolaanya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah’alaih (objek wakalah).
Ditinjau dari segi keuntungan
yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai bayaran
dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah
(upah-mengupah atau sewa-menyewa).
Apabila pengelola modal
mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah
pihak, maka kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta
tersebut dianggap ghasab[6].
4. Pembatalan
Mudharabah
Mudharabah
menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut :
1. Tidak
terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat Mudharabah.
2. Pengelola dengan
sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
3. Apabila
pelaksana atau atau pemilik modal meninggalkan dunia atau salah seorang pemilik
modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal[7].
B.
Pengertian Muzara’ah
Muzara’ah adalah seseorang
memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dengan upah bagian
tertentu dari hasil tanah tersebut (misalnya sepertiganya atau setengahnya)[8].
1. Dasar hukum
Muzara’ah
Praktek muzara’ah pernah dilakukan oleh Rasulullah dan
para sahabat setelahnya Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Rsaulullah saw, memperkerjakan penduduk khaibar dengan upah sebagian dari
biji-bijian dan buah-buahan yang bisa dihasilkan tanah khaibar[9].
2. Rukun dan Syarat
Muzara’ah
Menurut Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah akad, jumlah rukun-rukun muzara’ah menurut Hanafiah
ada empat, yaitu : 1) tanah, 2) perbuatan pekerja, 3) modal, dan 4) alat-alat
penanaman.
Syarat-syaratnya
ialah sebagai berikut :
a. Syarat yang
bertalian dengan aqidain, yaitu harus
Berakal
b. Syarat yang berkaitan
dengan tanaman, yaitu disyartkan adanya penentuan macam apa saja yang akan
ditanam
c. Hal yang
berkaitan dengan perolehkan hasil dari tanaman, yaitu; a) bagian masing-masing
harus disebutkan jumlahnya, b) hasil adalah milik bersama, c) bagian antara
Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, d) bagian kedua belah
pihak sudah dapat diketahui, e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan
yang ma’lum
d. Hal yang
berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu tanah tersebut dapat
ditanami,tanah tersebuta dapat diketahui batas-batasnya.
e. Hat yang
berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah waktunya telah ditentukan, waktu
itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, waktu tersebut memungkinkan
dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
f. Alat-alat
tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainya dibebankan kepada pemilik
tanah[10]
C.
Musaqoh
1. Pengertian
Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada
tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu
dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad.
2. Dasar Hukum
Akad ini diharuskan (diperbolehkan) oleh agama karena
banyak yang membutuhkannya. Memang banyak orang yang mempunyai kebun, tetapi
tidak dapat memeliharanya, tetapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peraturan
ini keduanya dapat hidup dengan baik,hasil Negara pun bertambah banyak, dan
masyarakat bertambah makmur.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ عَامَلَ اَهْلَ خَيْرَ بِشَرْطِ مَا
يَحْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْ زَرْعٍ رَوَاهُ مُسْلِمُ
Dari
Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian. Mereka akan
diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil
pertahun (palawija). (Riwayat Muslim)
3. Rukun Musaqah
a. Baik pemilik
kebun maupun tukan kebun (yang mengerjakan), keduanya hendaklah orang yang
sama-sama berhak ber-tasarruf
(membelanjakan) hartaa keduanya.
b. Kebun, yaitu
semua pohon yang berbuah, boleh diparokan, demikan juga hasil pertahun
(palawija) boleh juga dparokan.
c. Pekerjaan,
hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun,dua tahun atau lebih.
d. Buah, hendaklah
di tentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun)[11]
D.
Keistimewaan Musaqoh dan Muzara’ah
Diriwayatkan
dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasulullah saw, bersabda”
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ ىَغْرِ سُ غُرُ سًا اَ وْ يَزْ رَعُ زَرْعًا قَبَاْ كُلُهُ مِنْهُ
طَيْرٌاَوْإِ نْسَا نٌ اَوْ بَهِمَةُ اِ لَّاَ كَا نَ لَهُ بِهِ صَدَ قَةُ
“Tidaklah seorang muslim yang
menanam tanaman atau bercocok tanam, kemudian dimakan burung, manusia atau
hewan ternak,melainkan hal tersebut menjadi sedekah baginya”
E.
Ketentuan Akad Musaqah dan Muzara’ah
Musaqah dan
Muzara’ah merupakan akad kontak yang mengikat (lazim), dan tidak boleh dibatalkan
tanpa persetujuan pihak kedua. Penentuan lama waktu akad diterapkan sebagai pra
syarat dan harus ada persetujuan dari kedua pihak.
F.
Hukum menggabungkan Musaqah dan Muzara’ah
Boleh
menggabungkan antara musaqah dan muzara’ah dalam satu kebun, yakni dengan
menyirami pohon dengan imbalan yeryentu dari sebagian hasil buahnya, dan
mengelola tanah dengan imbalan dari sebagian hasil cocok tanam.
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam
menyerahkan pengelolaan khaibar dengan syarat mengambil bagian dari sebagian
penghasilannya, baik buah-buahan maupun hasil tanaman lainnya[12].
PENUTUP
Mudharabah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) sepertisawah atau lading dengan imbalan
sebagai hasilnya (seperdua,sepertiga atau seperempat). Sedengkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Dengan adanya
praktik mudharabah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik
sawah atau lading maupun pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat
digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan taraf hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ash
shiddieqy, Fuad Hasbi.1997.Hukum-Hukum
Fiqh Islam.Jakarta:PT. Pustaka Rizki Putra
Bahri,Fadli.2000.Ensiklopedi Muslim.Jakarta:Darul Falah
Sabiq,Sayyid.2004.Fiqh Sunnah.Jakarta.Pena Punah Aksara
Rasjid,H.Sulaiman.2007.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algensindo
Suhend,H.Hendi.2010.Fiqh Muamalah.Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada
[1] H.Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah (Jakarta:PT.Raja Gravindo Persada.2010) hal 136
[2] Ibid, hal 138
[3] Fuad Hasbi Ash Shiddieqy,Hukum-Hukum Fiqh Islam (Jakarta: PT
Pustaka Rizki Putra.1997) hal 421
[4] H.Hendi Suhendi,op.cit hal 139
[6] H.Hendi Suhendi,op.cit hal 140-141
[7] H.Hendi Suhendi,op.cit hal 143
[8] Fadhli Bahri,Ensiklopedi Muslim(Jakarta:Darul Falah.2000) hal 521
[9] Sayid Sabiq,op.cit hal 194
[10] H.hendi Suhendi,op.cit hal 158-159
[11] H.Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam(Bandung:sinar Baru
Algensindo.2007) h.300-301
[12] Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah
al-Tuwajiri.Ensiklopedia islam Al-Kamil(
EmoticonEmoticon