MADZHAB SHAHABI DAN ADZ-DZARI’AH

          Diantara dalil-dalil yang tidak disepakati oleh para ulama untuk dijadikan hujjah yaitu madzhab shahabi dan adz-dzari’ah. Setelah Rasul wafat yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah sahabat. Mereka mengetahui fiqh, ilmu pengetahuan dan apa-apa yang biasa disampaikan oleh Rasul. Memahami al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi. Apakah fatwa itu menjadi sumber tasyri’ yang dilengkapi dengan nash atau hanya semata-mata hasil pemikiran pribadi yang berkenaan dengan ijtihad, bukan hujjah terhadap kaum muslimin.

MADZHAB SHAHABI DAN ADZ-DZARI’AH

            Mengenai adz-dzari’ah bahwa setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilalui. Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuatan perantara yang tidak mempunyai dasar hukumnya.




PEMBAHASAN
A.    MADZHAB SHAHABI
1.      Pengertian Madzhab Shahabi
Madzhab Shahabi merupakan pendapat sahabat Rasulullah saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Secara sederhana yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah fatwa atau pendapat sahabat secara perseorangan.[1]
            Yang dimaksudkan dengan sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah seorang yang bertemu dengan Rasulullah saw dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang serta dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.[2]
2.      Objek Madzhab Shahabi
Menurut Ibnu Qayyim bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk berikut:
a.       Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi Muhammad saw.
b.      Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi Muhammad saw.
c.       Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya bagi kita
d.      Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang smpai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
e.       Fatwa yang didasarkan pada kesempurnaan ilmunya, baik bahasa maupun tingkah lakunya. Kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi Muhammad saw dan maksud-maksudnya. Kelima model fatwa ini adalah hujjah yang wajib diikuti dan
f.       Fatwa yang berdasarkan pamahaman yang tidak datang dari Nabi Muhammad saw, dan pemahamannya itu salah. Yang seperti ini tidak menjadi hujjah.[3]
3.      Kehujjahan Madzhab Shahabi
Para ulama sepakat bahwa pendapat para sahabat Nabi tidak menjadi alasan (hujjah) bagi sahabat yang lain. Yang menjadi persoalan apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah bagi orang yang hidup sesudah sahabat. Berkaitan dengan ini ada 4 pendapat, yaitu :
a.       Pendapat sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara keseluruhan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yang terdiri dari ulama asy’ariyah, mu’tazilah, syi’ah, pendapat yang kuat dikalangan ulama syafi’iyah, salah satu riwayat Ahmad bin Hanbal, ulama mutaakhirin  hanafiyah dan malikiyah, dan Ibnu Hazm dari Madzhab Zhahiri,
b.      Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah dan didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hanafiyah, malikiyah, qaul qadim al-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal,
c.       Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah apabila tidak bertentangan dengan perkataan sahabat yang lain. Dalam hal seperti ini, perkataan sahabat didahulukan daripada qiyas. Akan tetapi jika berlawanan dengan perkataan sahabat yang lain, maka dipilih yang sesuai dengan kandungan al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Ini pendapat imam al-Syafi’i dalam qaul jadidnya, dan
d.      Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila bertentangan dengan qiyas, karena dengan perlawanan itu berarti pendapat sahabat bukan bersumber dari qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat terakhir ini bersumber dari  akan kalangan hanafiyah.[4]
B.     ADZ-DZARI’AH  
1.      Pengertian adz- Dzari’ah
Dari segi bahasa, adz-dzari’ah berarti media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian ushul fiqh, yang dimaksud adz-dzari’ah ialah sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram maupun yang halal (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan. Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah dibagi dua yaitu sadd adz-dzariah dan fath adz-dzari’ah.
Yang dimaksud dengan sadd adz-dzari’ah (menutup jalan) ialah mencegah suatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan mafsadah. Contohnya adalah menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman keras.
Adapun yang dimaksud fath adz-dzari’ah (membuka jalan) adalah menganjurkan media atau jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang dapat menimbulkan al-maslahah (manfaat/kebaikan), jika ia akan menghasilkan kebaikan. Sebagai contoh, dianjurkan untuk membangun industri tekstil, karena hal itu akan menghasilkan kebaikan, yaitu berguna membantu orang menutup auratnya.
            Meskipun adz-dzari’ah dapat berarti sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah, namun dikalangan ulama ushul fiqh, jika adz-dzari’ah disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk menunjuk pengertian sadd adz-dzari’ah.[5]
2.      Objek  sadd adz-Dzari’ah
Pada dasarnya yang menjadi objek sadd adz-dzari’ah adalah semua perbuatan yang
a.       Ditinjau dari akibat atau dampak yang ditimbulkannya yang dibagi menjadi 4, yaitu :
1)      Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa kerusakan tata keturunan.
2)      Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yamg merusak, baik dengan sengaja seperti nikah muhallil, atau tidak sengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
3)      Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seorang perempuan yang baru ditinggal mati suaminya dalam masa ‘iddah.
4)      Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini yaitu melihat wajah perempuan saat dipinang.
b.      Ditinjau dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan yang dibagi menjadi 4, yaitu:
1)      Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang di tanah sendiri dekat pintu rumah seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh dalam lubang tersebut.
2)      Dzari’ah yang membawa kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang mencari musuhnya.
3)      Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan yang terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli kredit, memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk riba.
4)      Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang.[6]
3.      Kehujjahan  sadd adz-Dzari’ah
Hampir seluruh ulama ushul mengkaji masalah dzari’ah dalm kitab-kitab ushul fiqhnya.seluruh ulama menempatkan dzari’ah pada kajian dalil-dali yang  disepakati. Para ulama mengkaji masalah dzari’ah ini karena memang ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah banyak menyinggungnya, yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah: 104:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qä9qà)s? $uZÏãºu (#qä9qè%ur $tRöÝàR$# (#qãèyJó$#ur 3 šúï̍Ïÿ»x6ù=Ï9ur ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÉÍÈ  
104. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.

Larangan menyebut ra’ina, karena orang Yahudi menggunakan kata-kata ra’ina untuk mmencela atau menghina Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu umat Islam dilarang untuk mengatakan ra’ina sebagai suatu dzari’ah. Dari sini tampakbahwa sadd adz-dzari’ah mempunyai dasar dari al-Qur’an, sedangkan dari sunnah diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Nabi Muhammad saw melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik dapat menyebabkan Nabi dituduh membunuh sahabat-sahabatnya.
2)      Nabi melarang kepada kreditur untuk mengambil atau menerima hadiah dari debitur, karena cara demikian dapat berakibat jatuh kepada riba.
3)      Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesainya perang karena memotong tangan pencuri pada waktu perang membawa akibat tentara-tentara lari menggabungkan diri dengan musuh.
4)      Nabi melarang fakir miskin dari Bani Hasyim menerima bagian dari zakat,  kecuali apabila dia berfungsi sebagai amilin, karena dzari’ah, agar jangan timbul fitnah bahwa Nabi memperkaya diri dan keluargnya melalui zakat,
5)      Nabi melarang penimbunan, karena penimbunan ini menjadi dzari’ah kepada kesempitan atau kesulitan manusia.[7]
Tentang kehujjahan sadd adz-dzari’ah ada beberapa pendapat
a.       Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal dikenal sebagai dua orang Imam yang memakai sadd adz-dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa sadd adz-dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukum-hukum syara’.
b.      Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan sadd adz-dzari’ah merupakan satu hal yang penting sebab mencakup Amar (perintah) dan Nahi (larangan).
c.       Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah menerima sadd adz-dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam al-Syafi’i, membolehkan seseorang yang kena udzur, seperti sakit dan musafir, untuk meninggalkan sholat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dzuhur. Akan tetapi, menurutnya ia secara tersembunyi dan diam-diam mengerjakan sholat Dzuhur tersebut agar tidak dituduh sengaja meninggalkan sholat Jum’at.[8]
d.      Madzhab Zhahiri tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja, dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.[9]






PENUTUP
            Madzhab Shahabi merupakan pendapat sahabat Rasulullah saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Secara sederhana yang dimaksud dengan madzhab Shahabi ialah fatwa atau pendapat sahabat secara perseorangan. Pendapat sahabat tidak menjadi hujjjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabiin dan orang-orang yang datang sesudah tabiin. Ada pendapat yang menerimanya dan ada yang menolaknya. Dan diantara kedua pendapat yang bertentangan tersebut dapat dicarikan jalan tengahnya yaitu madzhab Shahabi yang semata-mata merupakan hasil ijtihad perseorangan, bukanlah merupakan hujjah syar’iyyah yang berdiri sendiri sebab, sebagai hasil ijtihad ia dapat benar dan dapat salah. Oleh karena itu, pendapat sahabat yang bersifat hasil ijtihad perorangan hanya menjadi hujjah yang wajib diikuti, apabila memiliki sandaran dalam bentuk nash al-Qur’an atau Sunnah.
            Adz-dzari’ah berarti media atau jalan menuju sesuatu. Adz-dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Bila adz-dzari’ah disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk kalimat majemuk maka kata itu selalu digunakan untuk menunjuk pengertian sadd adz-dzari’ah berpegang kepada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,sunnah bahkan wajib karena khawatir terjerumus dalam juarang kedzaliman. Denga demikian maka mukalaf wajib benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau meninggalkan dzari’ah








DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh.  Jakarta: prenada Media.
Dahlan, Abdul Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djaliel, Maman Abdul.2000.  Ushul Fiqh 1. Bandung: Pustaka Setia.
Rohayana, Ade Dedi.2006. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana.





[1] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta: prenada Media, 2005), h.169
[2] Maman Abdul Djaliel, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 181
[3] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh, (Pekalongan:STAIN Pekalongan Press, 2006), h. 188-189
[4] Ibid., h. 186-187
[5] Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 236
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 427-429
[7] Ade Dedi Rohayana, Op. Cit., h. 191-192
[8]Maman Abdul Djaliel, Op. Cit., h. 190-191
[9] Ade Dedi Rohayana, Op. Cit., h. 197

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »