PROSES TRANSPORTASI HADITS
PENDAHULUAN
Rawi menjadi
bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perowi haruslah
memiliki sifat2 khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak
kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli
bid’ah.
Kalau anda
bertanya jadi bagaimana mengetahui sifat perawi-perawi tersebut? jangan
khawatir karena kita memiliki ulama-ulama ahli hadits yang sangat jenius dan
istiqomah pada masing-masing zaman, mulai dari zaman sahabat hingga zaman
mudawwin mereka mencatat rawi2 tersebut termasuk kapan lahir dan wafatnya,
serta sifat2nya. Tidak ada perowi yang tidak tercatat dalam kitab-kitab mereka,
sehingga perowi yang tidak ada dalam catatan mereka disbut perawi yang majhul,
yang akan di dhaifkan kalau meriwayatkan hadits. Perawi-perawi tersebut
hendaklah dikenal setidaknya oleh 2 ahli hadits pada zamannya.
Kalau anda
tertarik dengan catatan perowi2 tersebut anda bisa cari kitab diantaranya : Ad
Durarul Kaminah (Ibn Hajar), Al Badruththoli’ (As Syaukani), Attarikhul khabir
(Imam Bukhari) tersebut.
Sanad,
menjadi bagian yang dinilai untuk menentukan derajat hadits sehingga kita
mengenal berbagai tingkatan hadits semacam: Marfu’, Maushul Mauquf, Mursal,
Mudallas, Maqthu’Munqathi’, Mu’dhal, Mudhtharib, Maqlub, Mudraj, Ma’lul,
Mu’allal, Mu’tal, Mu’allaq, Maudhlu’ , matruk, Syahid, mutabi’ tersebut.
Mattan suatu
hadits menjadi bahan penilaian juga dalam menentukan derajat hadits yang
terlihat dalam siyaqul kalam (hadits)… Mengandung kata-kata serampangan, rusak
maknanya, buruk maksudnya dan berisi sesuatu yang hina, bertentangan dengan
secara tegas dengan hadits-hadits lain yang telah jelas keshahihannya, isi
hadits menunjukan kebohongan hadits itu sendiri, materi pembicaraannya sama
sekali tidak menyerupai ucapan para Nabi, terlebih lagi ucapan Nabi, matan
hadits lebih menyerupai ucapan para dokter atau ahli penyakit tersebut.
Ulama hadits
semacam Bukhori, Muslim, Nasa'i, dsb adalah ulama Mudawwin . Note
"dhaif" dalam berbagai kategori adalah dilakukan ulama mudawwin
berdasarkan catatan-catatan ahli hadits pada masing-masing generasi, sebelum
generasi mudawwin soalnya pengertian saya jadinya Dhaif itu berlaku selama
" tdk ada hadist lain atau ayat Qur'an yang memperlemah".
A. Proses
Transformasi Hadits
Telah
dikemukakan fakta yang menunjukkan bahwa seluruh problem menyangkut hadits Nabi
terletak pada pertanyaan sentral tentang status Sunnah atau Hadits Nabi yang
selama dia valid merupakan sumber utama kedua hukum Islam, dan bahwa kehidupan
Nabi merupakan model yang patut diikuti oleh kaum Muslim tanpa batasan waktu
dan tempat. Karena alasan ini, para sahabat, bahkan selagi Nabi hidup, mulai
menyebarkan pengetahuan Sunnah, dan mereka memang diperintahkan Rasul untuk
berbuat demikian. Namun ini tidak berarti bahwa pintu terbuka lebar-lebar bagi
siapa saja untuk meriwayatkan hadits sekalipun ia yakin tak membuat kesalahan.
Nabi memperingatkan orang dengan berkata, “Jika seseorang berbohong tentang aku
dengan sengaja, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”[1].
Dalam hadits lain, beliau bersabda ; “Jika seseorang secara sengaja memisahkan
kepadaku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di
neraka jahanam”[2].
Peringatan
ini menghasilkan dampak luar biasa terhadap sahabat. Banyak sahabat enggan
menyampaikan hadits bila sangsi terhadap ingatannya. Dalam hal ini, kita dapat
mengambil contoh Anas b. Malik, Zubair bin Al-‘Awwam, Suhaib, Zaid bin Arqam,
juga ‘Abdullah bin Umar.
Kita
menemukan sahabat tertentu mengawasi sahabat lain, meminta mereka untuk
betul-betul yakin dan dapat dengan apa yang mereka sampaikan dari Nabi.
Kritik
hadis, dengan maksud menelusuri otentisitas hadis Nabi, dengan mengartikulasi
hadis yang sah dan tidak, mempunyai nilai yang sangat urgen dan dibutuhkan terutama
karena, pada realitanya, tidak semua hadis secara otentik berasal dari Nabi,
terdapat hadis-hadis palsu (mawdlû’) yang dinisbahkan kepada Nabi.
Transformasi
hadis tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik di dunia Islam. Hal ini
terlihat pada adanya pemalsuan hadis yang kemudian memotivasi kodifikasi hadis
itu. Sebagaimana disinyalir jumhur ulama, pemalsuan hadis itu pertama kali
terjadi pada masa ‘Alî (23-40 H) ketika terjadi pertentangan politik antara
pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah tentang jabatan khilafah, yang
menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu : Syî’ah,
Khawârij, dan Jumhûr.
Masing-masing
golongan; Syî’ah dan Jumhûr itu, untuk menjustifikasi kelompok mereka, membuat
hadis palsu itu yang berimpliksi pada munculnya kerusakan dalam tatanan hadis
secara umum.
Permasalahan
pokok yang muncul dalam penelitian ini berkenaan dengan pengaruh kebijakan
politik di dunia Islam terhadap periwayatan hadis-hadis Nabi. Dalam penelitian
ini, kajian difokuskan pada relevansi perkembangan politik dan transformasi
hadis pada pra dan masa kodifikasi, yang mencakup masa Nabi, masa sahabat, masa
Bani Umayah, dan Masa Bani ‘Abbasiyah. Pembatasan ini dilakukan karena pada
masa-masa itulah hadis mengalami proses transformasi yang gemilang.
B. Syarat-syarat
seorang Perawi
Rawi adalah
periwayat hadits sedangkan sanad atau isnad adalah kumpulan dari rawi yang
membentuk titian, jembatan, jalan atau sandaran sehingga hadits tersebut sampai
kepada kita.
Ulama
mudawwin semacam Bukhori, muslim, Nasai dsb akan mengatakan dalam haditsnya ”
Hadits ini disampaikan kepada saya melalui sesorang, misalnya si A, kemudian si
A berkata hadits ini disampaikan kepada saya oleh si C dan seterusnya sampai
misalnya si H, kemudian si H mengatakan bahwa dia mendengar Rosulullah SAW
berkata.......tentang hadits tersebut”.
Rawi menjadi
bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perowi haruslah
memiliki sifat2 khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak
kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli
bid’ah
Syarat-syarat
yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga
periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :
1) Beragama
Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Tidak fasiq
5) Tidak
terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
6) Mampu
menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
7) Sekiranya
dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
8) Mengetahui
dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara
makna.
Pada
umumnya, ulama ahli hadits membagi tata cara penerimaan riwayat hadits ke dalam
delapan macam
1) Al-Sama’ min
lajzh al-syaikh (mendengar dari ucapan guru).
2) Al-Qira’ah
‘ala al-syeikh (membaca di hadapan guru)
3) Al-Ijazah (izin)
4) Al-Munawalah
(pemberian)
5) Al-Kitabah (tulisan)
6) AL’I’lam (pemberitahuan)
7) Al-Washiyah (pesan)
8) Al-Wijadah
C. Tahammul
Wal-ad
Dalam ilmu
hadits istilah yang digunakan oleh Ulama Ahli Hadits tentang proses penerimaan
dan periwayatan hadits ialah tahammul al-hadits wa al-ada’ ( ) mengambil
dan menyampaikan hadits.
Dalam ilmu
Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada' (menerima dan
menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al
Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan
seseorang dengan sanadnya [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al
wijadah termasuk munqothi' [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus
dengan hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi
dari bawah sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau
mu'allaq, Ibnu ash Sholah mengatakan: "Ini termasuk munqothi' dan
mursal…", ar Rasyid al 'Atthor mengatakan: "Al wijadah masuk dalam
bab al maqthu' menurut ulama (ahli) periwayatan".[Fathul Mughits:3/22]
Para ahli
hadits telah membahas syarat-syarat sahnya seorang rawi menerima dan
menyampaikan riwayat hadits. Dalam hal ini, dibedakan antara syarat-syarat rawi
hadist ketika menerima dan ketika menyampaikan riwayat hadits. Ulama pada
umumnya berpendapat bahwa orang-orang kafir dan anak-anak kecil dinyatakan sah
menerima hadits tetapi untuk kegiatan penyampaian hadits, riwayat mereka tidak
sah[3].
Ulama ahli
hadits berbeda pendapat menilai mengenai kapan disunnahkannya mendengar hadits.
Sebagian ulama mengatakan bahwa disunnahkan mendengarkan hadits mulai umur 20
tahun. Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah bahwa mendengar hadits tidak
disyaratkan usia. Saat seorang telah mampu mendengar dan pandai menulis, maka
saat itu juga disunnahkan mendengarkan hadits. Bahkan menurut Al-Qadli ‘Iyadl,
anak berumur 15 tahun pun telah sah mendengarkan hadits[4].
Kesimpulan
Rawi adalah periwayat hadits
sedangkan sanad atau isnad adalah kumpulan dari rawi yang membentuk titian, jembatan,
jalan atau sandaran sehingga hadits tersebut sampai kepada kita.
Dalam ilmu hadits istilah yang
digunakan oleh Ulama Ahli Hadits tentang proses penerimaan dan periwayatan
hadits ialah tahammul al-hadits (Mengambil dan menyampaikan hadist).
Pada umumnya, ulama ahli hadits
membagi tata cara penerimaan riwayat hadits ke dalam delapan macam
1) Al-Sama’ min
lajzh al-syaikh (mendengar dari ucapan guru).
2) Al-Qira’ah
‘ala al-syeikh (membaca di hadapan guru)
3) Al-Ijazah (izin)
4) Al-Munawalah
(pemberian)
5) Al-Kitabah (tulisan)
6) AL’I’lam (pemberitahuan)
7) Al-Washiyah (pesan)
8) Al-Wijadah
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Husnan. 1993. Kajian Hadits Metode Takhrij.
Jakarta ; Pustaka Al-Kautsar.
Ali Mustafa Yaqub. 2002. Otentisitas Hadits. Jakarta
; Pustaka Firdaus.
M. M. Azami. 1977. Memahami Ilmu Hadits. Jakarta
; Leutera.
EmoticonEmoticon